Senin, 29 Oktober 2018

#5 Lavenda : Pangeran Pengelana Senja


            Sepulang dari latihan paduan suara, aku berjalan kaki melintasi lorong – lorong sekolah untuk memperkenalkan diri kepada semua hal yang ada disekelilingku.
            “Fia!” Brian menyapa dari kejauhan sambil melambaikan tangan. Dia tersenyum lebar. Aku langsung mengikutinya beriringan.
            “Hai Brian!”
            “Pulang bareng, yuk!”
            “Lah, bukannya kamu harusnya dari tadi udah pulang? Kok masih disini?” Kataku, memasang tampang heran. Dia pasti nungguin aku.
            “Hmmm… tadi ada orchestra. Jadi aku sekalian nungguin kamu disini, deh!”
            “Oh…” Kataku bernada kecewa. Dasar Fia tukang GR!
            Suasana hening sejenak. Aku dan Brian berjalan menuju ke Jitensha Okiba. Dengan langkah yang cepat, Brian mengambilkan sepedaku sebelum aku sempat mengambilnya. Tak tahu kenapa, aku memperhatikannya sambil melongo. Tidak biasanya dia menolongku mengambil sepeda.
            “Aku bisa kok, ngambil sendiri. Nggak perlu repot – repot.” Sambil tersenyum ramah, Brian menyerahkan sepedanya padaku. Namun aku menerimanya dengan berat hati. Karena aku paling tidak suka dibantu bahkan dalam pekerjaan yang berat pun. Apalagi jika itu bisa kulakukan seorang diri. Tapi semoga dia bisa mengerti dan tidak mengulanginya lagi. “Ehmmm… makasih.”
            “Hari ini aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.” Kata Brian seraya mengambil sepeda miliknya.
“Tapi, kemana?” Namun ia tak langsung menjawabnya.
            “Bukannya kamu cinta mati sama sesuatu?” Kata Brian.
            “Iyakah? Aku belum pernah suka segitunya sama suatu hal.” Ia hanya menarik napas dalam – dalam, menaiki sepedanya lebih dulu. Sejenak, aku terdiam. Sedangkan Brian hanya memutar – mutar pedalnya kebelakang. “Yah, kecuali pada lagu – lagu sopran.”
            “Udah, ikut aja.” Kata Brian, langsung tancap gas meninggalkanku. Huft, dasar! Anehnya, mengapa aku benar – benar mengikutinya? Bukankah bisa jadi dia merencanakan yang tidak – tidak? Tapi aku berusaha berpositif thinking. Dia adalah orang baik dan termasuk orang pertama yang kukenal sejak pindah ke Jakarta.
            Dia bersepeda lebih kencang daripada biasanya, melewati jalan yang sama sekali tidak kukenal. Lebih terjal, lebih kecil, dan lebih berpasir. Angin kencang membuat rambut Brian tampak berkibar.
            Lalu aku dan Brian sampai pada sebuah pagar jeruji tinggi berwarna putih dengan stripes ungu muda dan merah. Dari luar aku melihat cahaya keunguan keluar dari sana.
            “Tempat apa ini?” Tanyaku padanya. Dia mengeluarkan sebuah kunci dari dalam tasnya dan membuka gemboknya.
            “Coba kamu tutup mata, terus ikutin aku. Sepedaku coba kamu tuntun juga.” Kata Brian. Aku pun melakukannya tanpa protes. Walaupun aku juga penasaran apa yang akan dia lakukan padaku. Tangan kiriku memegang stang kanan sepedanya, dan tangan kanannya memegang stang kiri sepedaku. Sedangkan tangan kananku menuntun sepedaku sendiri. Aku mulai berjalan kemanapun dia membawaku.
            Sampai akhirnya langkah kami berhenti. “Udah sampai belum?” Tanyaku. Dia pun melepaskan tangannya dari sepedaku, aku juga melakukan hal yang sama.
            “Coba kamu buka mata.” Kata Brian.
            Aku langsung terkejut ketika melihat hamparan ungu nan luas di hadapanku, serta background oranye senja dibelakangnya. Angin disini sejuk dan sepoi – sepoi meniup gugusan bulu – bulu besar kekiri dan kekanan.
            “Ini…” Aku ingin mengatakan sesuatu, namun terlalu gugup. Takjub dengan luasnya pemandangan indah di depan mata. Sesuatu yang sering muncul dalam mimpi – mimpiku, namun tak pernah kubayangkan akan muncul di kehidupan nyata. “Dimana kita?” Aku menengok kearahnya, tapi Brian hanya tersenyum melihatku.
            “Kamu bisa lihat dibelakang kita ada apa?” Kata Brian.
            Aku pun menoleh kebelakang dan merasa lebih terkejut lagi. Ada dua bangunan rumah kembar yang sudah tak asing lagi. “Itu kan… Jadi kita ada dibelakang rumah kita?”
            “Ini kebun mama aku. Luasnya dua hektar. Dia juga punya bunga favorit yang sama. Kamu bisa kesini setiap saat kalau kamu mau.”
            Aku memasang ekspresi cemberut padanya. Bisa – bisanya aku tidak mengetahui sesuatu yang ada di dekatku. “Really? Tapi kenapa kamu lewat jalan yang beda? Bukannya kita bisa lewat jalan yang biasanya? Lebih deket, lebih efisien.”
            “Hehehe, kamu imut deh kalo lagi ngambek.” Kata Brian.
            “Ih, apaan!”
            “Kesana, yuk!” Kata Brian seraya menunjuk sebuah gundukan yang mirip terasering yang terletak hanya beberapa meter di depan kami. Aku dan Brian langsung menghampirinya. Kemiringan tanahnya sekitar 45 derajat. Brian pun langsung tidur diatasnya, memandang kearah mega merah senja. “Kamu tahu, nggak? Aku seorang penikmat senja, dan juga pengembara fajar. Matahari bagus banget kalau dilihat dari sini setiap Magic Hour. Kamu coba, deh!”
            Karena penasaran, aku pun mengikutinya. Tentu saja dengan mengambil jarak satu setengah meter lebih jauh darinya. Sesaat setelah aku membaringkan diri, aku merasakan semua lelahku hilang. Harmoni alam menjadi sedemikian terasa setiap detik. Terlebih ketika bintang – bintang mulai bermunculan. Termasuk bintang sang Kejora alias si Venus yang sok – sokan berkostum bintang. Dalam lamunan sesaatku, aku menemukan kata – kata yang bisa ditulis dalam buku harianku.
            Aku pun bangun dan mengambil buku kesayangan itu, yang diantara spiral – spiral jilidannya terdapat ballpoint berbulu berwarna ungu.
            “Dear Diary,
Hari kutemukan sang pangeran pengelana senja yang membawaku ke negeri dongeng yang selama ini kutemui dalam mimpi dan khayalanku. Warna kesukaanku, bunga bunga yang selama ini kudambakan, kini tak lagi kulihat setangkai. Sekarang aku memiliki hamparan, yang bisa kulihat setiap hari.
Tuhan, hari ini langitmu penuh bintang. Merah merona nan indah, seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Sang kejora kini menyapa dengan penuh keanggunan, diiringi dengan tarian indah dari segerombol ballerina mungil berkostum ungu.
Harmoni ini sungguh menggetarkan jiwa. Seperti nada – nada dalam setiap helaan nafas. Seperti simfoni yang memanjakan perasaan. Mesra.”
“Brian, aku pulang dulu, ya! Sebentar lagi Budhe aku pulang dari rumah sakit.” Kataku seraya membereskan tas dan buku.
“Lho, Budhe kamu sakit?” Kata Brian
“Kan aku udah pernah bilang sama Tante Irma waktu ke rumah kamu. Dia itu dokter spesialis otak.” Aku pun langsung menyambar sepedaku dan membawanya pergi tak jauh dari tempatku sebelumnya. “Aku duluan, ya!”
            Sesaat setelah aku berjalan masuk rumah, adzan maghrib berkumandang. Disana ada Budhe, yang baru pulang dari pekerjaannya. Dia adalah perempuan berjilbab bermata coklat muda. Dia sangat cantik, namun sampai sekarang dia belum menikah.
            “Assalamu’alaikum…” Aku mengucapkan salam.
            “Wa’alaikumussalam. Darimana kamu?” Dia menanyaiku dengan tegas. “Jam segini masih pakai seragam, baru pulang.”
            “Tadi aku ada latihan padus. Terus aku main – main sebentar dibelakang rumah, lihat senja.”
            “Oh, kamu ikut padus lagi di sekolah baru.” Budhe pun membuka dan mengeluarkan isi tasnya. Aku mendekatinya. Disana aku melihat amplop besar cokelat dengan stripes merah di sekeliling tepinya.
            “Budhe, apa itu?” Tanyaku. Ia pun langsung memungut benda itu, membuka isinya. “Itu kayak hasil rontgen pasien.”
            “Kemarin pasiennya Budhe ninggalin ini diatas meja. Sudah lama jadi client, sih. Kalau misal dia menjalani pengobatan lagi, budhe mau kembalikan ini.”
            Karena penasaran, aku pun mengambilnya dari tangan Budhe. Kuamati dengan seksama gumpalan putih yang tampak di sebelah kanan. “Aku pernah baca ini di Ensiklopedia kanker, di perpustakaan kota. Ini Astrocytoma Pilocytic stadium dua akhir, mau ke tiga.”
            “Dia sudah stadium tiga sekarang.” Aku pun menoleh kearahnya, begitupun sebaliknya. “Kasihan lihatnya. Padahal dia masih muda dan terlihat sehat. Masih 17 tahun, dan berobat dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri, tanpa diketahui siapapun.”
            Really?” Kataku sambil membelalakkan mata. “Dia terdengar hebat, tapi juga sangat egois. Semua orang butuh orang lain untuk menjalani hidup. Bukan menyiksa diri dengan hidup soliter.”
            “Dia punya alasan yang kuat, Fia.” Sisi bijak Budhe mulai keluar. “Orang tuanya bercerai dan ayahnya sudah tidak peduli lagi dengan keadaannya. Jadi ibunya yang harus bekerja keras. Untungnya dia juga sudah bisa menyuntikan dana untuk kehidupan keluarganya.”
            “Tapi kenapa dia ga mau ngasih tau ibunya? Bukannya dia-”
            “Fia,” Budhe memutus pembicaraanku. “Dia cuma ga mau membebani ibunya. Ibunya sudah jadi korban KDRT ayahnya. Menurutnya ibunya sudah terlalu terbebani. Sehingga dia tidak mau menambah berat persoalan.”
            “Oke, aku mengerti.” Sesaat aku berpikir. Lebih baik mana? Memiliki ayah dan ibu lengkap tetapi tidak harmonis, dan hidup berpenyakit. Atau tidak memiliki keduanya, berbadan sehat, namun memiliki kehampaan hati yang luar biasa. Rindu, walaupun tahu semua kerinduan ini tidak akan mencapai batasan. Saat belaian kasih seorang bunda hanya sebuah angan tanpa makna. Sejenak, aku merasa jijik karena merasa iri pada orang yang jelas lebih menderita.

Previous: #4 Lavenda: Rollana Vocalista Choir
Next:

Update setiap malam minggu :)

Sabtu, 31 Maret 2018

Puisi : Derita Kesendirian.

Kesepian...
Haruskah kata ini terus terucap?

Kesendirian...
Mengapa peristiwa ini harus terus terjadi?

Hai angin yang sedang berhembus,
Kaulah yang selama ini setia menemaniku...

Angin, bersediakah engkau untuk setia kepadaku?
Setia menjadi sahabatku hingga akhir waktu tiba...

Hai waktu,
Yang bergulir bagaikan lahar panas nan lambat...
Tolong berputarlah lebih cepat...
Hingga tubuhku tidak terasa...

Wahai rumput teki,
Terimakasih telah menjadi alas hidupku...
Menghindarkanku dari tanah yang dingin dan lembab...
Serta rela menanggung semua lara...
Dan subur oleh air mata...