Minggu, 06 November 2016

#3 Lavenda : Madrigals of Love

"Dear Diary,
Hari ini adalah hari yang membahagiakan. Sekolah baru, temen baru, guru baru, rumah baru, apalagi ya? Baju baru? Seragam baru? Sayangnya sekolah ini tidak butuh seragam. Hanya jas dan lambang.

Mamanya Brian itu baik banget, ya? Baru kenal aja sudah disambut sedemikian rupa. Gimana nanti? Haha. Baru kenal sekali aja aku sudah terkesan."

Aku pun menutup buku harianku dan segera bersiap - siap untuk tidur. Kumatikan lampu dan naik ke atas kasur, lalu menarik selimutku yang berwarna ungu dan bermotif bunga lavender. Mataku terpejam seketika.

Aku selalu memimpikan udara sejuk dan hamparan bunga lavender berwarna ungu setiap malam tiba.
...........

Pagi pun telah tiba, ku buka jendela dan bersiap - siap ke sekolah. Kali ini aku menggunakan setelan kemeja krem berkerah selutut dan celana legging coklat. Rambut hitamku yang lebat berponi aku beri hiasan berupa bandana pita. Seperti biasa, aku mengendarai sepeda.

Desiran angin pagi terasa semilir membelai wajah dan rambutku. The second day of school, mungkin itu judul yang tepat untuk mengisi buku harianku hari ini. “Halo dunia…” Gumamku perlahan. Itu adalah kalimat yang selalu aku ucapkan ketika akan memulai hari. Entah kenapa, menyapa dunia dan menyebutkan tujuan hidup di awal hari adalah hal yang sangat membuatku bersemangat.

“Fia!” Aku tahu siapa yang menepuk pundakku dari belakang. Suaranya yang hangat itu amat ku kenal. Ia menuntun sepeda BMX berwarna biru muda cerah. “Berangkat bareng, yuk!”

“Okay!” Kataku, yang langsung menuntun sepeda ke luar pagar, disusul oleh Brian. Ia langsung mengunci pagar dengan cepat dan kami mengayuh bersama.
...........

Kali ini aku menggunakan earphone menuju kelas. Salah satu kebiasaan lamaku, mendengarkan musik Mozart dan lagu – lagu bertempo lambat sembari menunggu bel sekolah berbunyi.

“Fia!” Lissa melambaikan tangan saat aku mencapai ambang pintu kelas. Ia langsung menghampiriku, tampak sumringah menyambut kedatanganku. “Kamu lagi dengerin apa? Mau, dong"

“Kalaupun aku kasih tahu, kamu mungkin ga bakalan ngerti.” Jawabku.

“Emang kenapa?” Tanya Lissa.

“Hmmm… nggak apa – apa, sih. Ini, coba kamu dengerin.” Kataku sambil melepas earphone yang menempel di telinga kananku, lalu menyerahkannya pada Lissa.

“Wow…” Matanya tampak bercahaya. Ia bersenandung ringan. “And through it all she offers me protection… A lot of love and affection... Whether I’m right or wrong… And down the waterfall…”

Ia membuatku terkejut. Selama hidupku, tidak ada satupun teman sekolahku yang mengerti musik yang aku suka. “Kamu tahu lagu ini? Sumpah, baru kali ini aku nemu temen yang tahu lagu ini.”

“Aku punya yang versi Robbie Williams. Aku biasa dengerin pakai gramophone di rumah. Kamu kayaknya lebih suka versi yang ini. Versi Declan Galbraith lebih ngebeat soalnya.”

“Really?” Aku merasakan ada cahaya terpancar dari kedua mataku. Aku merasa seperti Superman yang sedang memancarkan sinar laser. Ku peluk sahabatku itu dengan penuh kasih sayang. “You are my real best friend…” Bisikku padanya. Dengan segera aku sadar telah membuat dadanya sesak karena terharu. Tiba – tiba bel berbunyi dan kami melepaskan pelukan menuju bangku masing – masing.
...................

Jam istirahat pun dimulai. Aku dan Lissa menuju ke kantin untuk mengamati sekitar, barangkali ada makanan yang bisa dibeli.

"Jujur, aku belum pernah ke kantin sebelumnya." Kata Lissa, yang membuatku heran.

"Kamu beneran disini dari kelas sepuluh kan, Lissa?" Dia tidak menjawab apapun. Kami berhenti di salah satu kios. Lissa memesan segelas jus apel dan sepiring omelet. Sedangkan aku hanya memesan hot chocolate. Kalau makanan kan bisa nebeng, hehe...

Tiba - tiba aku mendengar sekelompok anak perempuan yang sedang "ngerumpi".

"Loe tahu nggak, anak cupu di kelas sekarang udah punya temen. Anak baru itu, namanya Fia. Sayang banget ya. Dia kan cantik, baik, pinter lagi! Tapi kok mau temenan sama anak cupu?!" Kata Tania kepada teman - teman se-gengnya. Dadaku tersentak ketika mendengarnya.

"Terpaksa kali dianya mau. Orang kursi yang kosong cuma di sebelahnya Lissa doang waktu Fia pertama kali dateng. Jelas lah, Fia mau temenan sama Lissa. Kan yang pertama kali diajak ngomong pasti Lissa." Sahut Vera. Rasa tidak nyaman menggerayangi tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tapi aku berusaha menahannya, dan bersikap biasa.

"Eh, tapi dia suka banget aku-kamu ke Lissa. Apa jangan - jangan mereka lesbi, ya?" Kata Rissa.

"Bener juga, ya?" Tania tampak setuju dengan apa yang Rissa ucapkan. "Selama ini kan Lissa pendiem banget, tuh. Mungkin aja dia menyembunyikan identitasnya sebagai lesbian? Maybe, siapa tahu?"

Aku sudah tidak tahan lagi. Otakku mendidih berat menahan emosi. Lissa memegang tanganku agar aku tidak melakukan hal - hal bodoh yang akan merugikan diriku sendiri.

"Fia, jangan. Aku udah biasa diginiin." Lissa tampak khawatir. Ia memperhatikan dahiku yang berkeringat dan berkerut karena menahan amarah.

"Jangan khawatir, bukan sifatku marah sambil gebrak meja." Aku pun melangkahkan kaki menuju meja mereka. Sedangkan Lissa hanya memilih untuk memandangku dari kejauhan sambil merasa gusar.

"Ehm, hai girls! Aku boleh gabung, nggak?" Kataku dengan nada bicara yang sok ramah. Mereka hanya memandangku dengan sinis dan jijik. Hanya Tania yang menganggukkan kepalanya. Dengan segera aku menjadi pusat perhatian mereka bertiga. "Kok kalian langsung diem? Lanjutin, dong? Kayaknya tadi seru banget?" Suasana tetap hening. "So, tadi siapa yang lesbi?" Aku menaikkan nada bicaraku pada huruf "i" terakhir. "Oke, paham, thank's ya pujiannya!" Lalu aku pergi menuju Lissa.

"Lissa, udah kamu bayarin punyaku?" Kataku seraya mengambil hot chocolate yang tadi ku pesan dari tangan Lissa. "Mood aku anjlok banget barusan. Tapi setidaknya aku lega, hufft..." Kataku sambil menyeruput hot chocolate. Setidaknya ini cukup untuk membuat damai suasana hati. Kami menuju salah satu meja yang tak jauh.

"Kamu berani banget, Fia. Padahal di kelas nggak ada yang berani sama mereka."

"Harga diri gue jatuh banget kalau nggak gitu-oh ya." Aku merogol kantong baju dan mengambil uang 13.000. "Ini, kita impas, ya?"

"Okay!" Kata Lissa sambil menerima uangnya.
...........

Tak terasa bel pulang pun sudah berbunyi. Kali ini aku tidak hanya berjalan dengan Lissa, tetapi juga dengan Alya Tri Kurnia, atau biasa dipanggil Ale, cewek berjilbab yang bertubuh agak bongsor. Tadi di kelas setelah jam istirahat, Miss. Fehab membagi kelas kami menjadi beberapa kelompok untuk memudahkan kami mengerjakan tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Tadi dia sudah banyak bercerita, termasuk sejarah namanya menjadi "Ale". Jadi, dia itu dulu ngefans banget sama Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan alias Iqbaale. Karena suka histeris setiap kali melihat foto Iqbaal dan berteriak "Ale! Ale!" maka jadilah nama panggilannya Ale.

"Rumah kalian dimana, sih?" Tanya Ale kepada kami berdua.

"Rumahku sih agak jauh, di Orchid Regency Kav 31." Jawabku.

"Kalo aku sih di Jalan Sumatera Utara  nggak tau persis nomor rumahnya, yang jelas searah sama Fia." Jawab Lissa.

"Oksy, berarti arah rumah gue beda sendiri. Di Jalan Sumatera Selatan. Motor gue diparkir di parkiran sebelah. Gue duluan, ya?" Kata Ale, lalu pergi.

"Bray!" Aku langsung menyapa ketika melihat Brian dari kejauhan. Dia bersama 3 orang teman laki - lakinya.

"Bro, gua cabut dulu, ya!" Brian berpamitan kepada teman - temannya. Dengan segera dia berlari ke arahku.

"Hai, Fia!" Dia melakukan tos padaku.

"Brian, kenalin, ini sahabat aku di kelas. Namanya Lissa." Kataku pada Brian. Kemudian aku menoleh ke Lissa. "Lissa, ini Brian. Dia tetangga sebelah rumah aku." Mereka berdua pun bersalaman.

"Oiya," Brian seperti mengingat sesuatu, kemudian merogoh - rogoh tasnya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kain berwarna hitam berlapis plastik tipis. Ia kemudian menyerahkannya padaku. "Ini, tadi Pak Dwi titip ke aku."

"Wah, jas Rollana. Akhirnya aku punya! Thank's Brian!" Aku tersenyum kegirangan.

"Fia, aku mau datang ke festival classic Claudio Monteverdi nanti malem. Kamu dateng, ya?" Kata Brian. Dadaku terasa sesak oleh gairah nada. Oh, Brian? Kamu juga suka Monteverdi? Kenapa semua ini terjadi begitu aneh? Dengan begini aku bisa mengenal lebih banyak lagi orang yang menyukai musik klasik. Terutama anak usia remaja seperti aku.

"Monteverdi? Wah, aku seneng banget! Lissa juga suka musik klasik. Ajak Lissa juga, ya? Kamu punya berapa tiket?"

"Aku punya dua." Jawab Brian. Gairahku yang tadinya terkumpul banyak tiba - tiba menghilang. Itu berarti aku tidak bisa mengajak Lissa.

"Iya, itu buat kamu sama Lissa. Aku pergi sama Mama di backstage." Ia pun menyerahkan tiketnya pada Lissa. "Alamatnya udah ada disitu. Kamu bisa bareng sama Mama aku nanti malem. Lissa bisa ke rumah Fia."

"Bentar - bentar, Brian. Kamu ngapain ke backstage?" Kata Lissa.

"Kita lihat aja nanti." Kata Brian."Em, aku duluan, ya? Buru - buru, nih. Ada urusan soalnya!" Brian pun berbalik arah dan pergi. Entah, dia bersikap agak aneh waktu berbalik arah tadi.

"Lissa, aku boleh lihat tiketnya?" Lissa menyerahkannya kepadaku. Aku pun langsung membacanya, dan aku terkejut dengan tulisan di tiket ini.


MADRIGALS OF LOVE

Conducted by:

Brian Lactangios

Tuesday, 3 January 2017

"What the- Brian?" Aku sampai tak bisa melafalkan tulisannya. "Brian Conductor?!"

"Wah, hebatnya...!" Sorak Lissa. Sedangkan aku sudah tak bisa melafalkan kata apapun lagi. Aku bisa saja tidak terkejut dengan konser ini, dan profesinya. Tetapi harga tiketnya yang tertulis "VIP 650.000" di pojok kanan atasnya. Tak ada musikus amatiran yang tiketnya bisa sold out dengan harga yang fantastis seperti itu. Pasti penggemarnya adalah orang - orang berkelas yang tidak main - main.
......

Malam yang dinanti pun telah tiba. Kukenakan gaun broklat berwarna merah marun bermotif mawar dengan rok yang mekar. Lalu aku duduk di teras rumah sambil menunggu kedatangan Lissa di rumah, dan berharap semoga dia tahu apa baju yang harus dikenakan untuk konser klasik seperti ini. Ku harap Lissa tahu apa yang harus dilakukan mala mini. Jangan sampai ia hanya mengenakan kaos oblong dengan mempertahankan kacamatanya, dan semakin diperparah dengan behel dan pita rambutnya yang berwarna – warni. Aku pun segera turun dari kamarku, dan memutuskan untuk menunggu Lissa datang.
              
“Kring! Kring!” Tiba – tiba aku mendengar suara orang membunyikan bel dengan mulutnya. “Kring! Kring! Kring! Lissa’s here!!! Fia, can you hear me?”
              
“Lissa?” Gumamku dengan sumringah. “Yeay, tunggu!!!” Aku pun berlari kearah pintu dan membukanya.

Seorang gadis bermata coklat muda dengan gaun berwarna putih polos dengan renda di lengannya, kini berdiri di hadapanku. Tidak ada kacamata, behel, ataupun pita – pita konyol di rambutnya. Hanyalah gadis cantik dengan rambut bergelombang dengan kepangan – kepangan kecil di tepi – tepi dahinya.

“Wow, Lissa.” Kataku takjub. “Kamu bisa cantik juga?”

“Ayo, berangkat!” Kata Lissa, sambil tersenyum cantik. Sumpah! Aku sendiri sampai tidak yakin kalau itu Lissa.

“Kalian sudah siap? Ayo kita berangkat!” Kata Tante Irma yang tiba – tiba berdiri di belakang Lissa. Kami pun segera menuju mobil.
……….

“Ayo, cepet – cepet. Cari kursi paling nyaman.” Kata Tante Irma. Kami bertiga tergesa – gesa menuju kursi VIP deretan tengah agak ke atas.

Tiba saatnya memainkan lagu pertama. Brian bertindak sebagai conductor, composer, dan arranger. Tangannya sangat lihai memegang tongkat baton seperti menari. Lagu ini lebih banyak diisi oleh suara biola yang terdengar seperti balada. 

"Keren nggak, Lissa?"

"Aku sudah lama pingin nonton konser karya - karya Mozart, tapi aku pikir yang ini nggak kalah kerennya, deh." Lissa tampak sangat takjub.

Aku melirik ke arah Tante Irma. Kedua matanya sangat berkaca - kaca dan salah satunya bahkan tak bisa membendungnya. Airmata perlahan - lahan menghiasi pipinya, namun senyuman di bibirnya terukir sangat jelas. Itukah yang dinamakan rasa bangga seorang Ibu kepada keberhasilan anaknya?

Tiba - tiba sebuah pusaran mengalir di kepalaku. Aku membayangkan sosok kedua orangtuaku yang sampai sekarang bahkan aku tidak mengenali wajahnya. Kalau mereka ada disisiku sekarang, akankah mereka juga akan bangga dengan berbagai keberhasilan dan kepandaianku? Akankah mereka menyayangiku juga? 

Bayangan itu pun mengalir deras di dalam kepalaku. Tak terasa airmataku pun ikut mengalir. Merasakan kesepian dan kerinduan yang teramat dalam. Mengingatkanku akan rasa haus akan kasih sayang kedua orangtuaku yang entah kemana berada.

Tak lama kemudian bayangan itu hilang. Berganti dengan tepuk tangan dari semua orang di gedung pertunjukan.
......

Semua orang keluar dari gedung pertunjukan. Aku, Lissa, dan Tante Irma segera menuju ke pintu belakang gedung, yang biasanya adalah tempat backstage.

"Pertunjukkannya bagus banget, ya?" Kataku kepada Tante Irma dan Lissa. "Tadinya aku pikir tiket ini mahal. Tapi ternyata setelah dilihat, ini terlalu murah untuk pertunjukan yang luar biasa."

Tante Irma tetap saja menangis terharu, tetapi dia menunjukkan senyum kebanggaan di wajahnya. Lissa merangkulnya, dan sesekali membelai punggungnya. "Dia anak tante satu - satunya, Fia. Tante bangga sekali sama dia. Ga tau jadinya kalau suatu saat dia tiba - tiba pergi dari hidup Tante."

"Wus, Tante. Ga boleh ngomong gitu. Kan ucapan itu do'a." Kata Lissa.

"Suatu saat pasti dia akan pergi, kan?"

Aku dan Lissa langsung paham. Sebagai perempuan, dia pasti sedang baper alias terbawa suasana.

"Hello, what's up my best?!" Tiba tiba terdengar suara dari belakang, disertai dengan kedua tangan yang merangkul kami bertiga dengan rapat. Tante Irma yang waktu itu berdiri di tengah langsung berbalik memeluk Brian dengan erat. "Aduh, Mama tersayang baper lagi, ya?" Katanya seraya membalas pelukan ibunya beberapa saat sebelum akhirnya dia melepas dan menghapus airmata ibunya.

"Mama bangga sama kamu, sayang." Tante Irma memeluknya lagi selama sesaat.

Brian tampak membusungkan dada, dan melempar pandang kepada kami semua. Dia tampak seperti seorang direktur yang hendak mengumumkan sesuatu. "Oya, perlu kalian tahu, ini konser tunggal aku yang pertama kali." Selang beberapa saat. "...dan untuk merayakan kesuksesannya, gimana kalau kita mancing, terus hasilnya kita bikin barbeque di tempat. Gimana?"

Aku dan Lissa langsung melempar pandang sebal padanya. Watta creative is this? Aku sudah menemukan orang lain yang bisa menjadi rival sekarang. Aku pun menjawabnya dengan jujur "Great!"

"Emang ikan enak dibikin barbeque?" Kata Lissa.

Brian hanya menarik napas dengan muka ngeles yang- sumpah pingin nonjok! Kalau aja mamanya ga ada, pasti itu orang sudah digotong dan dikubur dengan tubuh sudah direkonstruksi ulang. "Yah, gimana, ya? Dicoba aja. Siapa tahu enak."

"Udah, yuk! Ayo kita pulang." Kami bertiga bergegas pulang ke rumah masing - masing.

Previous: Eps. 2 Ternyata
Next: Eps.4 Rollana Vocalista Choir








Sabtu, 22 Oktober 2016

#2 Lavenda : Ternyata


Ku kayuh sepedaku dengan kencang, menerabas udara yang panas, kotor, dan berdebu. Rumahku lumayan jauh dari sekolah.

Setelah satu jam mengayuh, akhirnya aku sampai di depan pagar rumahku yang tidak pernah digembok. Karena di dalamnya terdapat dua buah rumah yang aku tidak tahu siapa penghuninya. Rumahku berada paling dekat dengan pagar, dan rumah satunya berada di sebelahnya. Aku pun membuka pagar dan masuk.

Pada saat aku menginjakan kaki di atas rumput, tiba - tiba ada orang lain yang sampai di gerbang, 1 meter dari tempatku berdiri. Aku mengenalnya, dia yang tadi menjatuhkan sepedanya di atas kepalaku. Apakah dia penghuni rumah sebelah, atau dia memang mengikutiku, aku tidak tahu.

"Kamu yang tadi itu, kan? Kamu ngikutin aku?"

"Enggak, lah, ge-er banget. Aku tinggal disini juga." Ia tersenyum saat mengatakannya. Ia langsung memasuki gerbang dan menutupnya. Sekarang dia berada sejajar denganku. "Tahu gitu kita tadi bareng. Kan enak ada yang bisa diajak ngobrol."

"Ehemm..." Aku hanya berdeham. "Emang kamu udah lama tinggal disini?"

"Lima belas tahun. Dulu rumahmu rumahku juga. Tapi Mama memutuskan untuk menjualnya. Katanya biar rame, dan ada yang ngurusin selagi dia kerja."

"Hmmm..."

"O iya, kamu mau main ke rumahku, nggak? Biar kita lebih mengenal satu sama lain. Kita kan tetangga sekarang."

"Maaf tapi, bukannya nggak baik kalau cewek main ke rumah cowok kalau dia cuma sendirian?" Balasku lirih.

"Mamaku lagi cuti, kok. Dia pasti seneng banget bisa menyambut tetangga barunya." Dia meyakinkanku.

"Oke, bentar aku mau parkir sepedaku dulu." Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Dia juga. Tak lama, aku menyusul Brian yang sudah menunggu di depan rumahnya.

"Yuk, masuk." Kata Brian.

"Assalamualaikum..." Aku mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam..." Suara lembut menjawabnya dari dalam. Wajahnya perlahan - lahan tampak dari bayangan yang gelap. Dia sangat cantik, wajahnya mirip dengan Brian, hanya saja terdapat sedikit keriput di ekor matanya. "Oh, ini tetangga baru kita. Mari masuk.

Lalu dia membawaku ke meja makan. Di sana sudah ada tiga buah mangkuk berisi makanan. Aku tidak tahu makanan apa itu. Aku langsung mengikuti mereka duduk.

"Ini namanya sekoteng. Khas Bogor." Kata Mama Brian.

"Aku belum pernah makan, Tante. Tapi orang cantik kaya' Tante pasti enak kalo masak."

"Ah, kamu bisa aja. Ayo buruan dimakan. Keburu dingin. Oh iya, kamu bisa panggil Tante Irma."

"Iya Tante Irma." Aku pun menyuapkan satu demi satu sendok sekoteng ke mulut. Rasanya hangat sekali. Aku memang suka dengan makanan hangat yang mengandung jahe.

"Oh ya, nama kamu siapa?" Tanya Tante Irma.

"Fia, Tante. Lengkapnya Anindita Alifia. Saya baru 2 hari tinggal disini." Jawabku.

"Oh, orang tua kamu dinas dimana?" Sudah aku duga pertanyaan ini pasti muncul.

"Itu dia. Fia belum pernah melihat mereka selama ini. Fia cuma tinggal sama Budhe, kakaknya Mama."

"Oh, maaf." Kata Tante Irma dalam raut wajah penuh penyesalan. Aku berusaha menunjukkan bahwa aku tidak terganggu dengan ucapannya barusan.

"Tapi kata Budhe, aku mirip banget sama Mama. Mataku mirip Papa. Jadi, meskipun Fia nggak pernah ketemu Mama, saat Fia lihat bayangan Fia sendiri di cermin, aku anggap itu pertemuan aku sama Mama. Saat aku lihat mataku sendiri, aku anggap, Fia lagi menatap mata Papa. Itu sudah cukup untuk Fia." Tak terasa air mata Tante Irma menetes begitu mendengarku bercerita. Padahal aku menceritakannya dengan penuh semangat. Aku sendiri bahagia menjalani semuanya.

"Terimakasih ya, Tante, atas semuanya." Kataku.

"Lain kali, jangan sungkan - sungkan mampir lagi." Kata Tante Irma.


Rabu, 19 Oktober 2016

#1 Lavenda : Sebuah Nama

"Halo dunia, namaku Anindita Alifia. Orang - orang biasa memanggilku Fia, si cewek cantik nan ceria. Banyak juga orang yang memanggilku si Pintar, si Cerdas, si Cemerlang. Mereka pikir aku pemutih baju apa dipanggil "Cemerlang"? Haha.

Hari ini adalah hari pertamaku ke sekolah baru di Jakarta. Deg - degan, sih. Tapi aku harus stay kelihatan pede - dan melepaskan semua beban hidup ke ruji sepeda yang kukayuh setiap hari."

"Akhirnya sampai juga!" Gumamku. Gerbang sekolah betuliskan "Rollana : Senior High School" sudah di depan mata. Di parkiran sekolah ada Jitensha Okiba, yaitu parkiran sepeda bertingkat ala Jepang yang bisa digunakan oleh semua murid sekolah. Aku juga memarkirkan sepedaku disana. Sembari menunggu bel masuk berbunyi, aku memutuskan untuk mencari ruang BK. Karena aku siswi baru yang harus mengenal lebih banyak tentang sekolah ini.

Suasana sekolah ini sangatlah sejuk, karena lahan yang luas dan banyak pepohonan. Kolam - kolamnya dibuat sangat alami seperti danau. Ada beberapa jembatan di atasnya. Uniknya, dalam sekolah ini ada sebuah sungai yang membatasi "Rollana : Senior High School" dan "Rollana : Junior High School". Tentunya, sangat berbeda dengan sekolahku yang sebelumnya. Jarang sekali terdapat pepohonan besar, gersang, banyak polusi karena berada di seberang jalan, dan bekas bangunan Belanda.

Setelah berkeliling lama sekali, akhirnya aku menemukan Ruang BK. "Permisi..." Aku mengucapkan salam dengan lirih. Lalu ada suara menjawab,"Iya, silahkan masuk"

Aku pun melangkahkan kaki perlahan, mencari sumber suara. Seorang guru laki - laki berkacamata menatapku dari kejauhan."Ada apa, dek?" Aku pun menghampirinya dan duduk di kursi yang sengaja disiapkan di depan mejanya, berhadapan dengannya.

"Begini, Pak. Jadi saya murid baru kelas XI, dari kelas akselerasi di SMAN 91 Surabaya. Saya mau ke kelas tapi saya nggak tau kelasnya yang mana."

"Bisa ditunjukkan rapotnya?" Pandanganku tertuju pada papan nama di dadanya yang bertuliskan Dwikora Yusuf N.

"Oh, iya." Aku pun membuka tas srempang hitam-ku dan menyerahkan buku rapor berwarna hitam milik sekolahku dulu, lalu meyerahkannya. "Ini, Pak Dwi-ko-ra~"

"Hmmm... nilai kamu lumayan juga, ya?" Katanya seraya menunjuk nilai - nilai di rapor yang mayoritas bertuliskan 95 ke atas, bahkan beberapa ada yang sempurna 100. Bapak ini sangat menyebalkan kalau dilihat dari cara bicaranya. "Kamu nggak pernah ikut ekskul apapun, ya?"

"Kalau di sekolah lama, saya ikut ekskul Paduan Suara dan Vocal Group, Pak. Di halaman belakang (rapor) ditulis, kok. Kalau disini ada, saya mau ikut juga, Pak."

"Oh... berapa kali juara?" Tanyanya ketus.

"3 kali, Pak. Satu nasional, satu provinsi, dan satu internasional. O iya, saya juga bisa menciptakan lagu. Saya baru saja menang lomba cipta lagu remaja tingkat nasional." Nada bicaraku sangat bersemangat. Aku benar - benar sebal dengan orang ketus macam ini. Rasanya aku ingin sekali menyombongkan semua yang kumiliki di depannya.

"Bagus..." Desisnya lagi. "Terus, kamu bisa apa?" Uhhhh, aku sudah tidak tahan!!! Aku ingin memukulnya kalau misalnya dia seumuranku.

"Oiya, Pak." Aku tiba - tiba teringat. Aku pun menghirup napas panjang untuk berbicara cepat tanpa jeda."Coba ceritakan sejarah singkat tentang namanya. Kenapa namanya Dwikora Yusuf, pasti huruf N di belakang itu singkatan dari Nugroho. Iya, kan? Saya tahu itu, karena orang Indonesia banyak yang punya nama itu dan cuma nama itu yang cocok dipasang di belakang nama Bapak. Pasti tanggal lahir Bapak bertepatan dengan peristiwa Dwikora, tanggal 3 Mei. Pasti Bapak tahu. Itu loh, Dwi Komando Rakyat yang di pelajaran Sejarah Indonesia. Jadi, ceritanya-"

"STOP!!!" Ia menggebrak mejanya, membuatku tersentak. "Ayo kamu saya antar ke kelas." Aku tersenyum mendengarnya. Akhirnya aku berhasil membuatnya kesal.

Tidak lama, aku pun sampai di depan kelas yang di depan pintunya terpampang "XI Science Acceleration".

"Terima Kasih, Pak!" Kataku seraya mencium tangannya. Guru berhijab itu pun menghampiriku dari dalam kelas. Semua guru memakai nama dada, sehingga sangat tidak susah mengetahui namanya.

"Ini, ada murid baru. Dia sebelumnya anak aksel, jadi saya bawa kesini. Tadi saya sudah membuktikan kemampuannya di Ruang BK. Dia luar biasa sekali." Kata Pak... Dwikora? Jujur, aku sangat terkejut mendengar perkataannya tadi. Mungkin tidak boleh terlalu cepat menilai orang lain.

"Oh, siapa namanya?" Tanya Bu Neira.

"Saya Fia, Bu. Anindita Alifia." Aku menyaliminya.

"Kamu sopan sekali, ya? Selamat datang di kelas kamu. Kebetulan saya wali kelas disini. Ayo silahkan." Guru itu sangat ramah padaku, beda dengan guru BK yang tadi. Ia beralih pandang. "Mari, Pak Nuggie.

"Nuggie?" Gumamku heran. Bu Neira menggandeng tanganku masuk kedalam. Rasanya sangat asing, dan aku baru sadar kalau mereka semua tidak berseragam. Mereka semua mengenakan setelan yang bebas, tetapi diberi jas yang sama, berwarna hitam dan bertuliskan Rollana dengan lambang pena terbalik, juga ada nama di sisi sebelah kanannya. Berbeda dengan aku yang memakai seragam putih abu - abu.

"Anak - anak, kita kedatangan murid baru, nih. Coba kamu perkenalkan diri dulu. Nama, tanggal lahir, atau apalah. Terus kenapa kamu pindah." Kata Bu Neira sambil menepuk pundakku. Ia kemudian berdiri di sampingku.

"Hai, nama aku Anindita Alifia dari Surabaya. Aku biasa dipanggil Fia. Umur aku baru 14 tahun, karena aku masuk TK umur 3 tahun, dan setelah itu aku selalu masuk aksel sampai sekarang. Alasan aku pindah adalah karena Budhe aku dokter. Dia pindah tugas ke Jakarta, dan aku harus ikut."

"Kamu tinggal sama Tante? Kenapa nggak tinggal sama orang tua kamu?" Jantungku berdetak cepat mendengar kalimat barusan. Tapi aku masih berusaha terlihat sangat ceria.

"Ya... itu masalahnya, Bu. Saya belum pernah lihat muka orang tua saya dari saya kecil." Kataku dengan senyum yang memaksa. Entah kenapa sudah ada dua hal menyebalkan yang terjadi disini padahal ini masih pagi.

Bu Neira tampak bingung dan menyesal setelah mengatakan itu. Ia pun berbicara dengan nada perlahan, "Emmm.... Maaf, Ibu nggak bermaksud begitu. Ehhh..." Dia berpikir sejenak, mencari tempat duduk yang masih kosong. "Lissa, Fia akan sebangku bareng kamu." Katanya sambil menunjuk gadis berkacamata dan berbehel dengan bangku kosong di sebelah kirinya. Ia duduk paling depan. Ia hanya bereaksi dengan menganggukkan kepala. "Fia, kamu bisa duduk sekarang."

"Iya, Bu." Aku langsung menuju ke sebelah Lissa. Ia sepertinya anak culun dan tidak pandai bergaul dengan teman - temannya. Seketika dalam hatiku terpatri sebuah tujuan; aku harus membantunya. "Lissa," Kataku lirih, sambil menyodorkan tangan. "Fia." Dia dengan ragu menggapainya.

Berada di bangku paling belakang mempermudah aku untuk mengobrol dengannya. Ia kebanyakan hanya merespons iya, tidak, anggukan, atau isyarat sejenisnya. Lama kelamaan ia semakin bisa menyesuaikan denganku. Kami mulai berdiskusi seputar pelajaran dan cara mengerjakan soal matematika.

"Tapi... aku belum pernah ke kantin." Jawab Lissa saat aku mengajaknya ke kantin pada saat jam istirahat.

"Kamu sudah dua tahun sekolah disini dan kamu belum pernah ke kantin? Are you kidding me?" Ujarku tanpa spasi. Karena terkejut aku langsung berdiri, keluar dari himpitan meja dan kursi kelas.

"Aku selalu di kelas, belajar dan baca buku."

"Lissa, hidup itu bukan sekedar belajar. Tapi nikmati dan praktekkan di luar. Aku tahu kamu pasti takut dibully, kan? Aku janji bakalan jadi tamengnya kamu kalau kamu disakiti. Mulai sekarang kamu harus jadi temen aku, terbuka sama aku, dan pastinya kita harus saling menjaga satu sama lain. Setuju?" Aku memberikannya jari kelingking. Aku berharap dia tahu isyarat apa ini. Dia pun berdiri dan melingkarkan jari kelingkingnya padaku juga.

"Kayaknya nggak afdol kalau cuma kamu yang janji, Fia. Kita sahabat sekarang. Aku janji akan selalu ada. Kita sahabat, oke?"

"Oke!" Kami pun saling berpelukkan. Sejak saat itu kami selalu bersama.

Akhirnya, tiba saatnya pulang sekolah. Aku berjalan lamban, menikmati pemandangan sekitar yang sedap. Setidaknya sampai aku keluar gerbang dan semuanya kembali panas dan berpolusi tinggi.

Perlahan - lahan aku pun mengambil sepedaku yang diparkir di tingkat bawah. Sejujurnya, aku sedikit kesulitan dengan parkiran semacam ini. Mungkin karena belum terbiasa? Entahlah.

Tiba - tiba kepalaku terbentur oleh ban sepeda lain yang diparkir tepat di atas sepedaku. Ketika aku menoleh, ternyata ada seorang cowok berambut hitam legam dengan model flip yang sedang mengambil sepedanya.

"Eh, maaf, mbak! Maaf aku nggak sengaja." Kata cowok itu sambil berusaha melihat dahiku dengan menyentuhnya. Ia tidak sengaja mengibaskan rambutnya.

"Nggak papa, kok, nggak papa." Kataku lirih sambil memegangi jidatku yang memerah. Aku langsung tegap kembali dan menatapnya dalam - dalam. "Kamu jadi cowok ya jangan sembrono, dong! Lihat ini, bikin benjol jidat orang." Kataku kesal sambil berlalu pergi. Tentunya sambil tersenyum - senyum kecil mengingatnya saat mengibas rambutnya. Alisnya tebal, dan matanya hitam legam seperti elang. Jas hitamnya bertuliskan "Brian Luckyta Angios." Hmmm, nama yang sangat aneh.

Kutancapkan gas dengan segera, meninggalkannya.

Next Eps 2 : Ternyata

Senin, 17 Oktober 2016

My First Single Coming Soon!!!^-^


Alomohora, my friends!!!

Aku lagi me-release single pertamaku (akhirnyaa:D). Itu salah satu dari goals-ku tahun ini selain menyelesaikan novel, menerbitkan buku, dan ranking satu. Walaupun kayaknya nggak mungkin ya, ranking satu di Smanisda, hehehe.

O iya, ternyata merilis single itu nggak mudah, loh. Pertama, aku harus menciptakan lagu dulu. Nggak susah, sih. Soalnya salah satu hobiku adalah menciptakan lagu dan bermain musik. Lagu ini sendiri adalah lagu yang aku ciptakan waktu aku kelas X, dan jadi salah satu dari 30 lagu - lagu ciptaanku yang lain (wihhh, sombong sekali! Yah, sekali kali sombong gapapa lah, ya, hehe :v)

Judulnya apa, ya? Gampanglah, entar kalau sudah jadi bakalan aku tunjukkin di blog ini, dan 2 blog-ku yang lain. See ya!

Collopurtus!!!

Dengarkan lagu saya DISINI :)

Puisi : "Lelah"

Aku bertanya dalam hati
Apakah ketulusan selalu berakhir dengan rasa sakit?

Sakit karena dikhianati
Sakit karena dijauhi
Sakit karena dibuang
Sakit karena ditinggalkan
Bahkan sakit karena dihina

Aku seringkali bertanya
Dimanakah ujung dari semua ini?
Dimanakah berkat dari semua ini?

Mengapa ku selalu terbuang?
Mengapa aku tak bisa menyakiti?
Sekalipun mereka adalah orang - orang yang menyakitkan hati
Aku tak bisa melawannya

Katakan padaku, Tuhan...
Katakan, bagaimana caraku menghadapi ini semua?
Bagaimana caraku menawarkan rasa sakit ini?
Bagaimana caraku menyembuhkan luka dalam hati?

Aku lelah, Tuhan...
Aku lelah! Aku lelah dengan semua ini!

Aku lelah dengan semua pengkhianatan ini
Aku lelah dengan semua penghinaan ini
Aku lelah dengan semua rasa sakit ini
Aku lelah dengan dunia ini

By: Haniya Timor

Minggu, 18 September 2016

I'm tired to be ignored...

Semua ini membuatku ingin tidur setiap saat. Berharap suatu saat nanti aku akan terbangun dan menyadari semua ini hanyalah mimpi buruk. Aku berharap suatu saat nanti aku terbangun bersama orang - orang yang kucintai. Orang - orang yang kuharapkan mereka berada disisiku.

Sayangnya, semua ini adalah realita. Kenyataan hidup, perjuanganku. Aku mungkin sakit hati, aku mungkin terluka, dan parahnya aku tidak bisa menangis. Aku sendiri, tanpa aliansi ataupun pendukung. Tak ada yang membelaku saat semua orang menuduhku salah walaupun tanpa bukti yang akurat. Setidaknya ada tempat bagiku untuk menangis, dan membiarkan semua ini meluap dalam airmata kesedihan. 

Kamis, 23 Juni 2016

Mengapa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan? (Curcol Edition)

Assalamualaikum... Alomohora, kawan!!!

Sebelumnya aku pernah menulis sesuatu yang tersirat di dua postinganku, yang menyatakan alasan kenapa aku jarang banget ngeblog akhir - akhir ini. Karena itu, sekarang aku akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Jadi, selama satu setengah tahun belakangan ini aku mengalami depresi ringan karena difitnah & dikhianati oleh sahabat sendiri. Aku memendam hal ini lama sekali, bahkan orang tua yang selama ini dekat sama aku, dan aku terbuka dengan mereka. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan mereka tidak pernah menaruh curiga kenapa akhir - akhir ini anaknya sering sekali mengurung dirinya di kamar dan lebih banyak diam, tidak terbuka seperti biasanya.

Kejadian itu terjadi waktu 3 bulan pertama aku masuk SMA. Di masa - masa itu, aku punya "sahabat" yang udah aku percaya banget. Aku merasa sudah klop banget sama dia, bahkan mamanya itu sayang sama aku. Terbukti waktu aku main ke rumahnya, suguhannya itu banyak banget sampai - sampai perutku penuh sesak dan susah nafas. Banyak hal menyenangkan yang aku lalui bersama dia. Sampai suatu saat tiba - tiba dia menjauh dari aku, lalu disusul yang lainnya.

Aku awalnya merasa wajar banget kalau mereka menjauhi aku. Aku pikir yah- mungkin karena aku anaknya frontal, sensitif, jahil dan hobinya menginterupsi teman waktu presentasi. Well, aku sering banget mendapatkan hal semacam itu, dan itu cuma sementara. Besoknya mungkin mereka akan kembali dan hubungan akan membaik seperti semula.

Tapi ternyata aku salah. Setelah beberapa hari, mereka sama saja, bahkan semakin parah. Ketika aku mencoba mendekat, mereka menghindar. Lalu aku mencoba mengobrol ke mereka pas mereka lagi ketawa - ketawa. Aku pikir ketika aku mencoba bergabung, mereka akan menjadi asik seperti semula. Tapi kenyataannya mereka berhenti tertawa dan suasana menjadi sepi. Itu berlangsung sampai akhir semester 1, sampai akhirnya ketertutupanku dengan orangtuaku tercium juga. Mereka pun memutuskan untuk menyelesaikan permasalahan yang aku alami dan mencari penyebab mengapa mereka menjauhi aku secara tiba - tiba.

Ternyata, teman - teman sekelasku percaya kalau aku itu punya kelainan seks, lesbian. Mereka takut banget aku deketin karena takut aku pacarin. That's a hoax! Jelas ada penyebar fitnah diantara mereka, dan ketika aku telusuri lebih dalam. Aku tanya orang - orang yang masih aku percayai. Dan aku shock ketika menerima kenyataan bahwa penyebar fitnahnya adalah "sahabat"ku sendiri. Maybe yes, maybe no. Tapi kemungkinan terbesarnya adalah itu.

Sebenarnya aku juga sadar kalau semua permasalahan sebenarnya berasal dari diri aku sendiri. Aku orangnya itu jahil banget, suka ngebom temen pakai chat. Aku juga suka banget ngagetin teman dari belakang, dan manja sama mereka. Tapi ya- selama ini aku nggak pernah punya masalah sama semua itu. Temen - temen sekolah aku yang sudah lama kenal sama aku juga nggak keberatan aku gituin. Emang gitu cara aku berinteraksi dengan orang yang baru aku kenal. Mereka sibuk menggunjing apapun yang aku lakukan sehingga tercipta suatu hal bernama "FITNAH".

That's why, kenapa di agamaku dilarang yang namanya Ghibah dan Namimah. Karena semua itu akan berujung pada fitnah dan adu domba. Itu sakitnya bukan main, dan nggak ada yang pernah ngerti sebelum mereka merasakan itu. Fitnah selalu berujung pada sanksi sosial berupa pengucilan dan pem-bully-an, dan bahkan dapat menimbulkan trauma yang mendalam. Dan itu yang aku alami selama ini.

Bahkan sekarang setelah aku naik ke kelas XII, masalah ini belum selesai. Aku masih menghadapi permasalahan sosial pasca peristiwa itu. Aku masih traumatik dengan itu semua sampai akhirnya aku lupa caranya membuka pembicaraan dengan orang lain, minder, juga penurunan nilai yang sangat drastis. Rasanya sakit setiap saat, bahkan aku merasa terasing di sekolah sendiri. Orang - orang nggak ada yang mengerti rasanya. At least, ya aku harus kuat struggling disini.

So, hati - hati dalam berbicara dan bertindak. Karena suatu ke-khilafan kita bisa jadi adalah penyebab dari luka mendalam yang dialami orang lain.

Collopurtus,
Wassalamu'alaikum!!

Rabu, 08 Juni 2016

Harry Potter and the Cursed Child (The Eighth Story of Harry Potter)

Alomohora!!!

Sudah lama aku nggak nulis, nih. Sebenarnya banyak banget bahan yang sudah aku timbun buat ngisi blog ini. Tapi karena ada sedikit masalah dengan kondisi pikiran yang nggak bisa dijelaskan dengan kata - kata yang makes me fully stressed and changed a lot and (it's makes me crazy!!!) juga tugas - tugas sekolah, project novel aku, ditambah lagi kegiatan aku di paduan suara sekolah dengan jadwal latihan padat membuat aku nggak sempet aktif di blog ini selama beberapa bulan.

So, I'll come back again with my favorite magical worlds, yang seharusnya memang menjadi isi blog ini. Kali ini aku mau membahas seri ke-8 dari buku Harry Potter, karangan J.K. Rowling. Jadi, setelah menerbitkan 7 seri buku dan novel yang kita kenal, J.K. Rowling kini menghadirkan suatu pertunjukkan teatrikal berjudul Harry Potter and the Cursed Child (Harry Potter dan Anak yang Terkutuk). Jujur, aku sendiri nggak paham sama judulnya. Bukannya Tom Riddle A.K.A. Lord Voldemort sudah mati karena kutukan mautnya sendiri? -_-"

Ceritanya sendiri berlatar sembilan belas tahun setelah battle of Hogwarts, yang bisa kita lihat di Harry Potter seri ketujuh di bagian epilog. Jika sebelumnya kita mengenal trio Harry, Ron, dan Hermione, di "buku" ke 8 ini kita akan berjumpa dengan Albus Severus Potter (anak kedua Harry Potter dan Ginny Weasley-Potter), Rose Weasley (anak pertama Ronald Weasley dan Hermione Granger-Weasley), dan Scorpius Malfoy (anak Draco Malfoy dan Astoria Greengrass-Malfoy). Uniknya, tidak seperti Harry dan Draco yang bermusuhan saat di bangku sekolah, Albus dan Scorpius justru bersahabat.

Berikut ini adalah para pemeran...
Draco Malfoy diperankan oleh Alex Price dan Scorpius Malfoy yang diperankan oleh Anthony Boyle.
Di serial bukunya, Draco Malfoy digambarkan sebagai tokoh antagonis yang sombong dan suka menghina Hermione dengan sebutan "Mudblood" yang berarti darah lumpur. Ia juga suka menghina Ron Weasley karena keluarganya yang miskin dan suka menggunakan barang - barang bekas untuk berbagai keperluannya. Tetapi semenjak kematian Dumbledore dan menjelajah hutan yang suram bersama Severus Snape di tahun terakhirnya, ia perlahan - lahan menjadi seorang yang lebih baik dari sebelumnya.

.
Ron Weasley, Hermione Granger, and Rose Weasley, masing - masing diperankan oleh Paul Thornley, Noma Dumezweni, dan Cherrelle Skeete
Diantara yang lainnya, Ron mengenakan pakaian paling santai diantara yang lainnya. Itu karena Ron tidak memiliki jabatan apapun di dunia sihir. Ia memilih menggantikan posisi Fred dalam bisnis keluarga Weasley bersama kakaknya, George. Seperti yang terlihat, tokoh Hermione disini diperankan oleh orang kulit hitam. Ini merupakan metamorfosa yang sangat signifikan dari tokoh yang sebelumnya diperankan oleh Emma Watson.
Harry, Albus, dan Ginny yang masing - masing diperankan oleh Jammie Parker, Sam Clemmet, dan Poppy Miller.
Harry Potter kembali dengan bekas lukanya dan kacamatanya yang legendaris. Jammie, kebetulan memiliki fisik seperti Harry Potter yang disebutkan di novel, yang tak pernah terwujud di filmnya. Penampilannya Harry juga selalu rapi dengan jas khas kementrian sihir.

Tidak seperti dalam 7 buku sebelumnya yang mengisahkan tentang tiga anak di asrama Gryffindor, kemungkinan besar trio ini akan menjadi penghuni asrama Slytherin.

Nah, sekian dulu informasi mengenai "World of Magic". Sengaja nggak dibanyakin biar nggak jadi spoiler:vwkwkwk 

Collopurtus!!!!!


Sabtu, 02 Januari 2016

Tekhnik - Tekhnik Vocal/Jenis - Jenis Vocal

Alomohora, kawan!!!

Kembali lagi dengan saya, Haniya Timor. Hari ini aku masih pengen bahas soal vocal. Tapi temen - temen tahu nggak kenapa di atas aku pajang fotonya Mariah Carey? Jawabannya adalah, karena Mariah Carey itu penyanyi wanita favoritku. Dia adalah salah satu dari International Diva yang bisa menguasai whistle voice dengan baik dengan pencapaian nada yang luar biasa, yaitu nada G#7.

Kalo aku boleh nanya, apasih whistle voice itu? Sebelumnya biar aku jelaskan. Suara manusia memiliki pembagian, dan dari masing - masing pembagian itu kita bisa menentukan tekhnik mana yang akan kita gunakan dalam menjangkau nada - nada tersulit.

1. Frying Voice / Vocal Fry

Adalah tekhnik vocal yang digunakan untuk menggapai nada terendah. Biasanya tekhnik ini dipelajari oleh penyanyi bersuara bass yang ingin menambah range vocal ke bawah. Jangkauan nadanya bisa mencapai nada terendah.

Frying voice banyak menggunakan tekhnik pernafasan dada dan mengatur posisi getar di hidung dan tenggorokan.

2. Chest Voice

Tekhnik vocal ini merupakan tekhnik vocal yang paling mudah (menurut saya). Karena jangkauan nadanya seperti nada orang berbicara atau zona nyaman kita saat bernyanyi. Chest voice banyak menggunakan pernafasan dada dan getaran yang diletakkan di tengah tenggorokkan dan terfokus pada gigi bagian bawah kita.

3. Falsetto Voice

Tekhnik vocal yang memiliki jangkauan lebih tinggi dari chest voice. Karakteristik falsetto adalah nada yang dihasilkannya lemah dan mendesah atau istolah lainnya bocor. Pada wanita, menggunakan falsetto tidak mengubah terlalu mengubah suara seperti pada pria. Tekhnik ini biasa menggunakan pernafasan perut. Pada seorang wanita, suara falsetto pada umumnya mencapai oktav ke 5.

4. Head Voice

Orang biasanya salah menyebut head voice adalah falsetto. Padahal, kedua tekhnik ini sebenarnya berbeda. Head voice menggunakan tekhnik pernafasan diafragma, dengan getaran paling banyak pada hidung dan terfokus pada kepala. Jangkauan nadanya bisa mencapai oktav ke 6. Dibandingkan dengan falset, suara yang dihasilkan oleh head voice memiliki nada yang lebih jelas dan tegas.

5. Whistle Voice

Ciri khas whistle adalah nadanya yang sangat tinggi melengking seperti peluit dan bisa mencapai oktav ke 7. Penyanyi yang menguasai ini sangat jarang di Indonesia bahkan dunia. Salah satu lagu yang menggunakan whistle voice adalah Emotions milik Mariah Carey.

Nah, itu dia macam - macam tekhnik vocal yang bisa kalian pelajari. Oya, sebelum mempelajari tekhnik - tekhnik di atas, hendaknya kita mempelajari perbedaan pernafasan dada, perut, dan diafragma. Jangan lupa melakukan pemanasan vocal dari nada terendah ke nada tertinggi agar tidak terjadi kerusakan pada pita suara.

Okay, see you next time and COLLOPURTUS!!!

Jenis - Jenis Suara Pada Manusia


Alomohora, teman!

Jumpa lagi setelah bangun dari hibernasi. Lama nggak mosting (watta bad languages?-_-) puisi, cerpen, atau sesuatu yang nambah ilmu disini. Sebenernya banyak banget yang mau aku posting disini. Tapi berhubung semenjak SMA ini aku terlalu banyak kegiatan, mulai dari jurnalistik, pramuka, padus, nge-band, latihan vocal, ngerjakan tugas, konser, dan lain - lain. Jadi males ngeblog dan ngarang yang aneh - aneh seperti biasanya. So, sekarang aku mau nge-share sesuatu yang aku dapat dari kegiatan baruku ini.

Yup, sekarang aku mau bahas tentang tekhnik vocal. Sebagian besar dari kalian pasti sudah tahu, kan kalau suara dibedakan menjadi 6 macam (soprano, mezzo-soprano, alto, tenore, baritone, basso) atau dalam ilmu paduan suara biasanya disederhanakan menjadi 4 (soprano, alto, tenore, basso) untuk memudahkan pembagian suara.

Soprano

Adalah suara paling tinggi dalam klasifikasi nada range vocal yang dicapai oleh perempuan atau anak laki - laki sebelum akil baligh. Istilah ini berasal dari bahasa Italia "sopra" yang artinya melampaui, dan bahasa latin "supra" yang artinya super.

Jangkauan nada sopran umumnya berkisar antara C4 hingga satu setengah oktaf keatas mencapai G5/A5. Namun bukan tidak mungkin jika pemilik suara ini bisa menggapai nada - nada selanjutnya dengan tekhnik head voice dan whistle voice.

Dahulunya di Italia istilah soprano digunakan untuk menyebut suara tinggi laki - laki. Karena pada saat itu gereja katedral disana melarang seorang wanita untuk menyanyi di depan umum. Namun seiring dengan berkembangnya opera, maka pemeran - pemeran wanita diperlukan. Pada akhirnya doktrin itu pun memudar. Wanita diperbolehkan bernyanyi di depan umum dan sejak saat itu istilah sopran digunakan untuk menyebut suara tinggi perempuan.

Alto

Adalah suara perempuan dengan ambitus terendah. Istilah ini berasal dari bahasa Italia "canto" dan bahasa Latin "altus" yang artinya tinggi. Suara ini umumnya memiliki range vocal antara F2 sampai C4, setara dengan nada berbicara wanita. Seorang pria yang memiliki suara alto disebut sebagai counter tenor atau contra tenor.

Tenore

Kata tenor berasal dari bahasa latin tenere yang berarti menahan. Dalam polifoni abad pertengahan dan Renaissance antara sekitar 1250 dan 1500 tenor merupakan suara dasar yang dijadikan rujukan untuk menentukan suara suara-suara yang lain (wikipedia).

Umumnya, suara tenor memiliki rentang antara C3 - A4 atau rentang tertingginya Bb2 - F5. Suara ini dimiliki oleh laki - laki. Namun ada juga wanita yang memiliki suara tenor dan disebut contra alto.

Basso

Adalah vocal pria yang ambitus terendahnya bisa jauh dibawah C natural yaitu E2 sampai E4 atau bisa lebih rendah lagi dengan menggunakan tekhnik 'frying voice'. Berasal dari bahasa latin 'basso' yang artinya akar. Suara ini juga berfungsi untuk mendasari pada paduan suara baik mix voice maupun male voice. Selain bisa dihasilkan dari suara pria, suara bass juga bisa dihasilkan dari alat musik guitar bass dan double bass.

Nah, itu tadi adalah jenis - jenis suara manusia. Jenis suara aku termasuk suara soprano koloratura dramatic (suara sopran klasifikasi slow). Kalau kalian apa?^^



Numpang ngepost foto xD. See ya, collopurtus!!!