Senin, 29 Oktober 2018

#5 Lavenda : Pangeran Pengelana Senja


            Sepulang dari latihan paduan suara, aku berjalan kaki melintasi lorong – lorong sekolah untuk memperkenalkan diri kepada semua hal yang ada disekelilingku.
            “Fia!” Brian menyapa dari kejauhan sambil melambaikan tangan. Dia tersenyum lebar. Aku langsung mengikutinya beriringan.
            “Hai Brian!”
            “Pulang bareng, yuk!”
            “Lah, bukannya kamu harusnya dari tadi udah pulang? Kok masih disini?” Kataku, memasang tampang heran. Dia pasti nungguin aku.
            “Hmmm… tadi ada orchestra. Jadi aku sekalian nungguin kamu disini, deh!”
            “Oh…” Kataku bernada kecewa. Dasar Fia tukang GR!
            Suasana hening sejenak. Aku dan Brian berjalan menuju ke Jitensha Okiba. Dengan langkah yang cepat, Brian mengambilkan sepedaku sebelum aku sempat mengambilnya. Tak tahu kenapa, aku memperhatikannya sambil melongo. Tidak biasanya dia menolongku mengambil sepeda.
            “Aku bisa kok, ngambil sendiri. Nggak perlu repot – repot.” Sambil tersenyum ramah, Brian menyerahkan sepedanya padaku. Namun aku menerimanya dengan berat hati. Karena aku paling tidak suka dibantu bahkan dalam pekerjaan yang berat pun. Apalagi jika itu bisa kulakukan seorang diri. Tapi semoga dia bisa mengerti dan tidak mengulanginya lagi. “Ehmmm… makasih.”
            “Hari ini aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.” Kata Brian seraya mengambil sepeda miliknya.
“Tapi, kemana?” Namun ia tak langsung menjawabnya.
            “Bukannya kamu cinta mati sama sesuatu?” Kata Brian.
            “Iyakah? Aku belum pernah suka segitunya sama suatu hal.” Ia hanya menarik napas dalam – dalam, menaiki sepedanya lebih dulu. Sejenak, aku terdiam. Sedangkan Brian hanya memutar – mutar pedalnya kebelakang. “Yah, kecuali pada lagu – lagu sopran.”
            “Udah, ikut aja.” Kata Brian, langsung tancap gas meninggalkanku. Huft, dasar! Anehnya, mengapa aku benar – benar mengikutinya? Bukankah bisa jadi dia merencanakan yang tidak – tidak? Tapi aku berusaha berpositif thinking. Dia adalah orang baik dan termasuk orang pertama yang kukenal sejak pindah ke Jakarta.
            Dia bersepeda lebih kencang daripada biasanya, melewati jalan yang sama sekali tidak kukenal. Lebih terjal, lebih kecil, dan lebih berpasir. Angin kencang membuat rambut Brian tampak berkibar.
            Lalu aku dan Brian sampai pada sebuah pagar jeruji tinggi berwarna putih dengan stripes ungu muda dan merah. Dari luar aku melihat cahaya keunguan keluar dari sana.
            “Tempat apa ini?” Tanyaku padanya. Dia mengeluarkan sebuah kunci dari dalam tasnya dan membuka gemboknya.
            “Coba kamu tutup mata, terus ikutin aku. Sepedaku coba kamu tuntun juga.” Kata Brian. Aku pun melakukannya tanpa protes. Walaupun aku juga penasaran apa yang akan dia lakukan padaku. Tangan kiriku memegang stang kanan sepedanya, dan tangan kanannya memegang stang kiri sepedaku. Sedangkan tangan kananku menuntun sepedaku sendiri. Aku mulai berjalan kemanapun dia membawaku.
            Sampai akhirnya langkah kami berhenti. “Udah sampai belum?” Tanyaku. Dia pun melepaskan tangannya dari sepedaku, aku juga melakukan hal yang sama.
            “Coba kamu buka mata.” Kata Brian.
            Aku langsung terkejut ketika melihat hamparan ungu nan luas di hadapanku, serta background oranye senja dibelakangnya. Angin disini sejuk dan sepoi – sepoi meniup gugusan bulu – bulu besar kekiri dan kekanan.
            “Ini…” Aku ingin mengatakan sesuatu, namun terlalu gugup. Takjub dengan luasnya pemandangan indah di depan mata. Sesuatu yang sering muncul dalam mimpi – mimpiku, namun tak pernah kubayangkan akan muncul di kehidupan nyata. “Dimana kita?” Aku menengok kearahnya, tapi Brian hanya tersenyum melihatku.
            “Kamu bisa lihat dibelakang kita ada apa?” Kata Brian.
            Aku pun menoleh kebelakang dan merasa lebih terkejut lagi. Ada dua bangunan rumah kembar yang sudah tak asing lagi. “Itu kan… Jadi kita ada dibelakang rumah kita?”
            “Ini kebun mama aku. Luasnya dua hektar. Dia juga punya bunga favorit yang sama. Kamu bisa kesini setiap saat kalau kamu mau.”
            Aku memasang ekspresi cemberut padanya. Bisa – bisanya aku tidak mengetahui sesuatu yang ada di dekatku. “Really? Tapi kenapa kamu lewat jalan yang beda? Bukannya kita bisa lewat jalan yang biasanya? Lebih deket, lebih efisien.”
            “Hehehe, kamu imut deh kalo lagi ngambek.” Kata Brian.
            “Ih, apaan!”
            “Kesana, yuk!” Kata Brian seraya menunjuk sebuah gundukan yang mirip terasering yang terletak hanya beberapa meter di depan kami. Aku dan Brian langsung menghampirinya. Kemiringan tanahnya sekitar 45 derajat. Brian pun langsung tidur diatasnya, memandang kearah mega merah senja. “Kamu tahu, nggak? Aku seorang penikmat senja, dan juga pengembara fajar. Matahari bagus banget kalau dilihat dari sini setiap Magic Hour. Kamu coba, deh!”
            Karena penasaran, aku pun mengikutinya. Tentu saja dengan mengambil jarak satu setengah meter lebih jauh darinya. Sesaat setelah aku membaringkan diri, aku merasakan semua lelahku hilang. Harmoni alam menjadi sedemikian terasa setiap detik. Terlebih ketika bintang – bintang mulai bermunculan. Termasuk bintang sang Kejora alias si Venus yang sok – sokan berkostum bintang. Dalam lamunan sesaatku, aku menemukan kata – kata yang bisa ditulis dalam buku harianku.
            Aku pun bangun dan mengambil buku kesayangan itu, yang diantara spiral – spiral jilidannya terdapat ballpoint berbulu berwarna ungu.
            “Dear Diary,
Hari kutemukan sang pangeran pengelana senja yang membawaku ke negeri dongeng yang selama ini kutemui dalam mimpi dan khayalanku. Warna kesukaanku, bunga bunga yang selama ini kudambakan, kini tak lagi kulihat setangkai. Sekarang aku memiliki hamparan, yang bisa kulihat setiap hari.
Tuhan, hari ini langitmu penuh bintang. Merah merona nan indah, seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Sang kejora kini menyapa dengan penuh keanggunan, diiringi dengan tarian indah dari segerombol ballerina mungil berkostum ungu.
Harmoni ini sungguh menggetarkan jiwa. Seperti nada – nada dalam setiap helaan nafas. Seperti simfoni yang memanjakan perasaan. Mesra.”
“Brian, aku pulang dulu, ya! Sebentar lagi Budhe aku pulang dari rumah sakit.” Kataku seraya membereskan tas dan buku.
“Lho, Budhe kamu sakit?” Kata Brian
“Kan aku udah pernah bilang sama Tante Irma waktu ke rumah kamu. Dia itu dokter spesialis otak.” Aku pun langsung menyambar sepedaku dan membawanya pergi tak jauh dari tempatku sebelumnya. “Aku duluan, ya!”
            Sesaat setelah aku berjalan masuk rumah, adzan maghrib berkumandang. Disana ada Budhe, yang baru pulang dari pekerjaannya. Dia adalah perempuan berjilbab bermata coklat muda. Dia sangat cantik, namun sampai sekarang dia belum menikah.
            “Assalamu’alaikum…” Aku mengucapkan salam.
            “Wa’alaikumussalam. Darimana kamu?” Dia menanyaiku dengan tegas. “Jam segini masih pakai seragam, baru pulang.”
            “Tadi aku ada latihan padus. Terus aku main – main sebentar dibelakang rumah, lihat senja.”
            “Oh, kamu ikut padus lagi di sekolah baru.” Budhe pun membuka dan mengeluarkan isi tasnya. Aku mendekatinya. Disana aku melihat amplop besar cokelat dengan stripes merah di sekeliling tepinya.
            “Budhe, apa itu?” Tanyaku. Ia pun langsung memungut benda itu, membuka isinya. “Itu kayak hasil rontgen pasien.”
            “Kemarin pasiennya Budhe ninggalin ini diatas meja. Sudah lama jadi client, sih. Kalau misal dia menjalani pengobatan lagi, budhe mau kembalikan ini.”
            Karena penasaran, aku pun mengambilnya dari tangan Budhe. Kuamati dengan seksama gumpalan putih yang tampak di sebelah kanan. “Aku pernah baca ini di Ensiklopedia kanker, di perpustakaan kota. Ini Astrocytoma Pilocytic stadium dua akhir, mau ke tiga.”
            “Dia sudah stadium tiga sekarang.” Aku pun menoleh kearahnya, begitupun sebaliknya. “Kasihan lihatnya. Padahal dia masih muda dan terlihat sehat. Masih 17 tahun, dan berobat dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri, tanpa diketahui siapapun.”
            Really?” Kataku sambil membelalakkan mata. “Dia terdengar hebat, tapi juga sangat egois. Semua orang butuh orang lain untuk menjalani hidup. Bukan menyiksa diri dengan hidup soliter.”
            “Dia punya alasan yang kuat, Fia.” Sisi bijak Budhe mulai keluar. “Orang tuanya bercerai dan ayahnya sudah tidak peduli lagi dengan keadaannya. Jadi ibunya yang harus bekerja keras. Untungnya dia juga sudah bisa menyuntikan dana untuk kehidupan keluarganya.”
            “Tapi kenapa dia ga mau ngasih tau ibunya? Bukannya dia-”
            “Fia,” Budhe memutus pembicaraanku. “Dia cuma ga mau membebani ibunya. Ibunya sudah jadi korban KDRT ayahnya. Menurutnya ibunya sudah terlalu terbebani. Sehingga dia tidak mau menambah berat persoalan.”
            “Oke, aku mengerti.” Sesaat aku berpikir. Lebih baik mana? Memiliki ayah dan ibu lengkap tetapi tidak harmonis, dan hidup berpenyakit. Atau tidak memiliki keduanya, berbadan sehat, namun memiliki kehampaan hati yang luar biasa. Rindu, walaupun tahu semua kerinduan ini tidak akan mencapai batasan. Saat belaian kasih seorang bunda hanya sebuah angan tanpa makna. Sejenak, aku merasa jijik karena merasa iri pada orang yang jelas lebih menderita.

Previous: #4 Lavenda: Rollana Vocalista Choir
Next:

Update setiap malam minggu :)

Sabtu, 31 Maret 2018

Puisi : Derita Kesendirian.

Kesepian...
Haruskah kata ini terus terucap?

Kesendirian...
Mengapa peristiwa ini harus terus terjadi?

Hai angin yang sedang berhembus,
Kaulah yang selama ini setia menemaniku...

Angin, bersediakah engkau untuk setia kepadaku?
Setia menjadi sahabatku hingga akhir waktu tiba...

Hai waktu,
Yang bergulir bagaikan lahar panas nan lambat...
Tolong berputarlah lebih cepat...
Hingga tubuhku tidak terasa...

Wahai rumput teki,
Terimakasih telah menjadi alas hidupku...
Menghindarkanku dari tanah yang dingin dan lembab...
Serta rela menanggung semua lara...
Dan subur oleh air mata...


Minggu, 17 Desember 2017

#4 Lavenda: Rollana Vocalista Choir

Seminggu setelah konser, aku merasakan hal yang benar – benar baru dalam hidupku. Dimulai dari Lissa, yang sudah bisa terbuka kepada orang lain, dan teman baruku Ale dan Zahwa. Sekarang aku lebih sering berempat dengan teman – temanku. Kalau anak cowok, aku punya Biyu, Arka, dan Sai.

Abiyu Armijin, cowok dengan postur tubuh tak terlalu tinggi tetapi tampak mencolok dengan rambutnya yang seperti batok kelapa yang dibalik di atas kepalanya. Aku ketemu dia di “Rollana Vocalista Choir Audition”, yaitu sebuah audisi untuk merekrut anggota paduan suara sekolah. Sedangkan nama timnya lebih sering disebut Rollana Vocalista Choir (RVC). Dia menyenangkan sekali, bahkan dia cowok paling menyenangkan yang pernah aku kenal. Dia menerimaku apa adanya, bahkan sejak hari pertama perkenalan di RVC.

Sehari setelah konser Madrigals of Love, entah kenapa aku mendapatkan daya tarik tersendiri pada not – not balok yang tersusun secara sistematis dalam sebuah partitur bertingkat. Tiba – tiba aku menghadiri audisi dan dua hari kemudian aku terpilih dengan suara Soprano Koloratura. Jangkauan nada 3 Oktaf 3 nada, dari D3 ke G6. Aku semula tidak pernah membayangkan bahwa suaraku bisa setinggi ini. Mungkin aku sesekali menyanyi lagu Sarah Brightman dan Andrea Bocelli yang berjudul Time To Say Goodbye, tetapi dengan nada asli yang bagiku masih posisi yang nyaman di tenggorokan.

Di RVC ini aku mengenal seorang pelatih asal Yogyakarta bernama Tirta. Anggota paduan suara biasa memanggilnya Matir, atau singkatan dari Mas Tirta. Sejujurnya, aku agak sebal melihat caranya bersikap seolah – olah ngeboss dan paling bisa. Juga caranya berbicara yang kasar dan nadanya yang tinggi, tidak seperti orang Jogja pada umumnya. Menyebalkan! Tak jarang aku memplesetkan namanya menjadi Amatir, Montir, Kentir, Mati, dsb. Tentu saja aku hanya membatinnya – tak pernah mengucapkan itu semua.

“Kak Fia, kalo not yang kecil ini namanya apa? Terus gimana ngebunyiinnya?” Tanya Biyu padaku, yang sedang sibuk menerjemahkan not – not balok bertingkat ke dalam not angka. Dia masih lebih muda satu angkatan dibawahku.

“Aku udah bilang, aku masih 15 tahun. Kamu seumuran masa’ manggil aku ‘Kak?’”

“Soalnya, -eh. Nggak enak manggil Fia.” Ekspresinya menyeringai padaku.

“Cengengesan, Lu. Dasar!”

“Hahaha,” Dia malah tertawa melihatku berekspresi serius. “Kak Fia udah bisa ngomong bahasa gaul!”

Tanpa pikir panjang, aku segera meraih selebaran partitur tebal di tangannya. “Oh, yang ini?” Kataku sambil menunjuk satu not kecil yang terselip diantara yang lain, memiliki banyak bendera, dan saling berkaitan. “Ini namanya Appogiatura. Sejenis cengkok. Kaya gini Sebyaa~r ena…”

“Fia, udah sejak kapan ikut padus?” Tanya Biyu.

“Dari SMP.” Aku terlalu berkonsentrasi menerjemahkan partitur di tanganku sehingga menjawab semua pertanyaan dengan ketus.

“Terus gimana awalnya bisa tertarik?”

“Aku ga tau, sih. Tiba – tiba tertarik aja. Aku juga bisa main piano, cipta lagu. Aku juga suka seni. Maybe that’s why I’m so interesting about it.”

“Bilang pake bahasa gue-lo, dong!”

“Suka – suka aku, dong.” Kataku sambil tersenyum melihatnya. Dari awal aku melihatnya, rasanya aku merasa berarti. Aku suka cara dia bicara, memperlakukan orang lain, aku suka kepribadiannya, dan lain – lainnya. I like his personality, and I hope he will be my best friend soon. “O iya, menurutmu pelatih padus kita yang satu ini gimana sih, orangnya?”

“Biasa aja, sih. Tapi kadang-“

“Sebel! Gua juga!” Kataku memutus kalimatnya.

Tiba – tiba ada suara – suara keras langkah kaki. Seluruh Anggota RVC berbondong - bondong memasuki ruang seni. “Cepat! Cepat! Matir datang!” Aku dan Biyu juga bergegas masuk, sebelum ada singa mengaum. :D

Semua langsung berbaris sesuai pengelompokan suara masing – masing. Aku berbaris di depan ujung paling kanan, sedangkan barisan alto berada di sebelah kiri barisan sopran. Tenor dan Bass mengikuti di belakangnya.

Matir langsung menyentuh keyboard yang sudah disiapkan di depan. “Selamat siang semuanya. Untuk mengawali latihan hari ini, mari kita berdo’a menurut keyakinan masing – masing. Berdo’a mulai.”

Semua orang di ruangan langsung menundukan kepala, dan mulai berdo’a. Dalam hati aku mulai membaca Al Fatihah dan do’a untuk belajar dengan cepat.

“Berdo’a selesai.” Semua kepala yang tadinya tertunduk langsung kembali ke posisi semula. “Stretch!” Kata Matir, menginstruksikan kami semua untuk pemanasan. Semua orang di ruangan langsung melakukan pemanasan dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Setelah pemanasan, kami semua dituntun untuk mengikuti tangga nada arpeggio “Do-Mi-Sol-Do-Sol-Mi-Do”, dengan huruf vokal “A – I – E – O – U – E – A” yang nada dasarnya dinaikkan satu demi satu dengan menggunakan keyboard.

“Kurang kompak!” Matir berteriak menyemangati.

“A – I – E – O – U – E – A” Terdengar bunyi ‘teng-teng’ keyboard setelah bunyi vocal, untuk menggiring suara ke nada yang lebih tinggi.

“Lebih keras lagi!”

“A – I – E – O – U – E – A”

“Diafragmanya kamu coba buka. Nah, sip!”

“A – I – E – O – U – E – A”

“Diafragma!!!”

“A – I – E – O – U – E – A” Mulai terdengar suara helaan napas tersengal tanda tidak kuat dari anak – anak. Satu per satu anggota suara Bass, Alto, dan Tenor mulai berhenti menyanyi. Sedangkan suara Sopran berhasil mencapai oktaf ketujuh.

Matir pun menekan keyboard kembali ke middle C. “Nah, sekarang turun,” Latihan suara pun dimulai dengan cara yang sama, hanya saja kali ini nada diturunkan satu demi satu. Suara Bass berhasil mencapai oktaf kedua.

Review latihan pengambilan nada yang tadi? Ada yang kesulitan?” Kata Matir dengan ekspresi wajah galaknya yang klasik. Seketika, semua menggelengkan kepala. “Apa?! Tidak ada? Oh, bagus.” Ekspresinya mulai ketus. Aku sendiri mulai takut memandangnya, tapi kucoba untuk berdiri tegap seakan tak merasakan apa – apa. “Rollana, sekolah favorit, juara paduan suara nasional, tapi kalian sombong sekali, ya?” Dia mulai terlihat emosi. “Asal kalian tahu? Suara kalian tadi itu jelek sekali! Kemampuan mengatur diafragma, blending, pitch control, semuanya buruk!”

“Pssstt…” Aira, teman sebelahku memanggil dengan bisikan kecil saat Matir sibuk mengomentari suara bass di belakang.

“What?” Sahutku.

“Kita ga salah pilih pelatih, kan?” Kata Aira.

“Kita lihat aja dulu. Siapa tahu dia punya sisi baik yang menyenangkan.” Jawabku.

“Menyenangkan apaan? Dari tampangnya aja udah horror. Bulu kuduk gue sampe merinding dari tadi, sumpah!”

“Positive thinking aja, mungkin dia lagi laper atau ada masalah sama keluarga.”

“Fia, you know that? Pelatih professional ga mungkin bawa – bawa masalah keluarga ke pekerjaanya.”

“…dan kalian suara alto. Kalian tidak bisa mengimbangi sopran- (bla…bla…bla).” Suara Matir terdengar samar – samar di telingaku. Karena aku memang tak ingin mendengarkannya.

Aku pun melanjutkan bicara. “Iya, gue bener. Dia emang mulai lapar.” Aira mulai menatapku, mendengarkan dengan seksama. “Biyu pernah bilang kalau pelatih kita yang satu ini gak doyan cokelat. Bahkan dia phobia banget sama yang namanya cokelat.”

“Oh…” Sahutnya seraya mulai tersenyum. “Did you mean, dia kekurangan asupan ‘Snickers’? Hahaha…”

“Tau aja dah, kamu.” Aku dan Aira mulai tertawa.

Lalu tiba – tiba ada sepasang mata besar melotot di depan wajahku dan Aira. Seluruh pandangan tertuju pada kami berdua. Badanku langsung terasa kaku dan kebas. Aku yakin Aira juga merasa begitu.

“Coba ulangi pembicaraan kalian barusan!” Kata Matir sambil memelototkan mata.

“Hmmm… kita cuma bercanda kok. Iya kan, Fia?” Kata Aira seraya menginjak kakiku untuk memaksaku mengatakan ‘iya’.

“Iya. Tadi saya cerita tentang toko cokelat di sebelah. Kan baru buka. Saya punya rencana buat ngajak dia kesana.”

“Oh, toko cokelat, ya?” Aku dan Aira mengangguk – angguk. “Perasaan saya tidak pernah menemukan toko cokelat di sekitar sini.”

Aira menginjak kakiku lagi. Sedangkan aku hanya bisa menahannya. “Aira, plis…” bisikku padanya.

“Aku tahu kalian berbohong. Sana push-up lima belas kali plus lari – lari keliling lapangan 15 kali! Kalian berdua dan… Rizda! Tadi kamu juga ikut ketawa di belakang.”

“Loh, saya, pak? Saya ga ikut – ikutan.” Kata Rizda, yang posisi berdirinya dibelakangku persis.

“Bodo amat. Kalian bertiga keluar!” Kata Matir. Aku, Aira, dan Rizda langsung menuju ke tengah lapangan untuk melakukan apa yang diperintahkan.

Aku tahu sangat sulit untuk berlari jam dua siang dengan kondisi terik. Tapi, biarlah. Nantinya juga semuanya akan merasakan hal yang sama. Paduan suara juga memerlukan fisik yang kuat, bukan hanya suara bagus dan talenta yang besar.

“Satu… Dua… Eh, girls!” Tiba – tiba muncul sebuah ide di kepalaku. “Kalian udah push up berapa kali?”

“Lima kali.” Kata Rizda.

“Udah ga usah dilanjut.” Kataku. Mereka berdua menunjukkan ekspresi keheranan. “Tadi kan disuruh 15 kali. Kita disini bertiga, jadinya dibagi lima-lima. Larinya juga dibagi – bagi.”

“Lo ngajarin kita curang, Fia?” Sahut Aira.

Mimik mereka berdua terlihat aneh. Aku berdeham dan mencoba menjelaskan. “Kita nggak curang, kok. Ini strategi. Bukan kebohongan. Kalau dia nanya sesuatu, kita tinggal jawab dengan jujur. Tapi diakali sedikit. Tahu kan, maksudku?”

“I see…” Jawab Aira. Sedangkan Rizda hanya mengangguk – anggukan kepala.

Aku pun mengangkat telapak tanganku dengan semangat. “Tos, dong!” Lalu mereka berdua menjawab dengan menepukkan telapak tangan mereka ke telapak tanganku. Dimulai dengan Aira, kemudian Rizda.

Setelah menyelesaikan hukuman sesuai dengan kesepakatan, aku, Aira, dan Rizda langsung kembali kedalam ruang seni untuk melanjutkan latihan.

Tapi belum sempat melangkahkan kaki, kami bertiga sudah melihat segerombol anggota paduan suara yang lainnya sudah berbaris di pinggil lapangan.

“Hey, kalian bertiga udah selesai?” Tanya Matir.

“Sudah dong, Matir!” Kata Rizda seraya memasang senyum anggunnya.

Matir langsung memasang senyum balasan, lalu merogoh kantongnya dan mengeluarkan sejumlah uang. Entah kenapa batinku langsung terpana melihat apa yang dipegangnya.

Aku meresponsnya dengan spontan, “Buat kita, Matir?” dan langsung menutup mulutku saat itu juga, sementara Aira dan Rizda memandang ke arahku.

Lalu Matir menjawabku dengan ketus, “Iya, buat kita.” Seraya menyerahkan seonggok uang itu pada kami bertiga. Aira langsung menerima uang itu. Aku langsung paham maksudnya, dan menarik tangan mereka berdua, mengajak menuju koperasi sekolah.

Sementara Matir berbalik arah untuk memberikan instruksi pada anggota lainnya untuk lari keliling lapangan sambil menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka” dalam tempo sedang dan staccato.

            “Buat kita, maksudnya?” Rizda masih tidak mengerti.

            Tiba – tiba Matir menoleh ke arah kami. “Masih disini kalian? Dasar bodoh kalian! Gitu aja nggak ngerti! Pergi sana beliin sesuatu buat teman – teman kalian!”

            “Kalian berdua ini, ih!” Aku menggerang kesal sambil menarik tangan mereka pergi secepatnya. Di sepanjang perjalanan, kami mengobrol tentang diri masing – masing. Disaat itulah kami saling mengenal, dan aku rasa suatu saat kami bisa saling akrab satu sama lain.

            Nama panjang Aira adalah Zahira Al – hambra. Dia seumuran denganku, juga dia adalah anak akselerasi waktu SMP, di Rollana Junior High School. Dia adalah anggota paduan suara paling muda di angkatanku.

            Sedangkan Rizdamaya Lintang Herfadanty, berusia 16 tahun. Dia tidak banyak bercerita tentang kehidupan pribadinya, namun dia sangat – sangat skeptis terhadap kehidupanku. Tentang bagaimana aku menjalani hidup seorang diri, dengan seorang kakak dari ayahku yang berprofesi sebagai dokter spesialis otak, yang punya pekerjaan sampingan sebagai –entah apa, dan pulang seminggu sekali. Tidak punya saudara, atau banyak teman. “Bagaimana aku bisa betah?” dan sebagainya.

            “Sejujurnya, terkadang aku tersiksa karena rasa iri. Bahkan dengan melihat anak kecil yang bahagia bersama orang tua mereka. Diajari jalan, disuapin, diajak bermain, bertengkar dengan saudara.” Kataku sambil menahan tetesan airmata yang mulai menumpuk diantara tulang mata. “Sedangkan aku belajar semuanya dari tempat penitipan anak, yang aku ingat.”

            “Terus lo nggak haus kasih sayang, gitu?” Tanya Rizda kesekian kalinya.

            “Seringkali.” Kali ini aku menatap matanya, kemudian menghela napas panjang dalam – dalam. “Yah… tapi aku selalu kuat, kan?”

            “Kamu hebat, Fia.” Jantungku berdetak senang ketika Aira memujiku.

            “Bisa aja kamu. Tumbenan sekali ini pakai aku-kamu ngomongnya, haha.” Kataku.

            “Itulah pengaruh dari Anindita Alifia!”

            Setelah itu kami mengangkat dua dus air mineral gelas bersama – sama. Sebenarnya aku kesal, kenapa harus pekerjaan ini dilakukan oleh cewek? Apa 18 anggota laki – laki belum cukup untuk mengangkat 2 dus air?

            Di lapangan, anggota paduan suara yang lain sudah selesai melaksanakan latihan fisik. Mereka asyik mengelap – ngelap keringat, sedangkan kami bertiga datang terlambat karena terlalu asyik mengobrol. Alhasil, kami mendapatkan omelan dari Matir sekali lagi.

            Tapi overall, hari ini latihan sangat menyenangkan. Dari sebuah hukuman paling menyebalkan pun, aku masih bisa mendapatkan teman baru yang asyik dan pengertian. Aku berharap suatu saat mereka akan menjadi sahabat – sahabatku.

            Latihan pun dilanjutkan dengan lagu “Panorama” aransemen F.A. Warsono. “Indonesia… Indonesia… tanah air tercinta. Indonesia… Indonesia… tumpah darah pusaka…”

Previous: Eps. 3 Madrigals of Love
Next: Eps. 5 (?) UPCOMING

Minggu, 06 November 2016

#3 Lavenda : Madrigals of Love

"Dear Diary,
Hari ini adalah hari yang membahagiakan. Sekolah baru, temen baru, guru baru, rumah baru, apalagi ya? Baju baru? Seragam baru? Sayangnya sekolah ini tidak butuh seragam. Hanya jas dan lambang.

Mamanya Brian itu baik banget, ya? Baru kenal aja sudah disambut sedemikian rupa. Gimana nanti? Haha. Baru kenal sekali aja aku sudah terkesan."

Aku pun menutup buku harianku dan segera bersiap - siap untuk tidur. Kumatikan lampu dan naik ke atas kasur, lalu menarik selimutku yang berwarna ungu dan bermotif bunga lavender. Mataku terpejam seketika.

Aku selalu memimpikan udara sejuk dan hamparan bunga lavender berwarna ungu setiap malam tiba.
...........

Pagi pun telah tiba, ku buka jendela dan bersiap - siap ke sekolah. Kali ini aku menggunakan setelan kemeja krem berkerah selutut dan celana legging coklat. Rambut hitamku yang lebat berponi aku beri hiasan berupa bandana pita. Seperti biasa, aku mengendarai sepeda.

Desiran angin pagi terasa semilir membelai wajah dan rambutku. The second day of school, mungkin itu judul yang tepat untuk mengisi buku harianku hari ini. “Halo dunia…” Gumamku perlahan. Itu adalah kalimat yang selalu aku ucapkan ketika akan memulai hari. Entah kenapa, menyapa dunia dan menyebutkan tujuan hidup di awal hari adalah hal yang sangat membuatku bersemangat.

“Fia!” Aku tahu siapa yang menepuk pundakku dari belakang. Suaranya yang hangat itu amat ku kenal. Ia menuntun sepeda BMX berwarna biru muda cerah. “Berangkat bareng, yuk!”

“Okay!” Kataku, yang langsung menuntun sepeda ke luar pagar, disusul oleh Brian. Ia langsung mengunci pagar dengan cepat dan kami mengayuh bersama.
...........

Kali ini aku menggunakan earphone menuju kelas. Salah satu kebiasaan lamaku, mendengarkan musik Mozart dan lagu – lagu bertempo lambat sembari menunggu bel sekolah berbunyi.

“Fia!” Lissa melambaikan tangan saat aku mencapai ambang pintu kelas. Ia langsung menghampiriku, tampak sumringah menyambut kedatanganku. “Kamu lagi dengerin apa? Mau, dong"

“Kalaupun aku kasih tahu, kamu mungkin ga bakalan ngerti.” Jawabku.

“Emang kenapa?” Tanya Lissa.

“Hmmm… nggak apa – apa, sih. Ini, coba kamu dengerin.” Kataku sambil melepas earphone yang menempel di telinga kananku, lalu menyerahkannya pada Lissa.

“Wow…” Matanya tampak bercahaya. Ia bersenandung ringan. “And through it all she offers me protection… A lot of love and affection... Whether I’m right or wrong… And down the waterfall…”

Ia membuatku terkejut. Selama hidupku, tidak ada satupun teman sekolahku yang mengerti musik yang aku suka. “Kamu tahu lagu ini? Sumpah, baru kali ini aku nemu temen yang tahu lagu ini.”

“Aku punya yang versi Robbie Williams. Aku biasa dengerin pakai gramophone di rumah. Kamu kayaknya lebih suka versi yang ini. Versi Declan Galbraith lebih ngebeat soalnya.”

“Really?” Aku merasakan ada cahaya terpancar dari kedua mataku. Aku merasa seperti Superman yang sedang memancarkan sinar laser. Ku peluk sahabatku itu dengan penuh kasih sayang. “You are my real best friend…” Bisikku padanya. Dengan segera aku sadar telah membuat dadanya sesak karena terharu. Tiba – tiba bel berbunyi dan kami melepaskan pelukan menuju bangku masing – masing.
...................

Jam istirahat pun dimulai. Aku dan Lissa menuju ke kantin untuk mengamati sekitar, barangkali ada makanan yang bisa dibeli.

"Jujur, aku belum pernah ke kantin sebelumnya." Kata Lissa, yang membuatku heran.

"Kamu beneran disini dari kelas sepuluh kan, Lissa?" Dia tidak menjawab apapun. Kami berhenti di salah satu kios. Lissa memesan segelas jus apel dan sepiring omelet. Sedangkan aku hanya memesan hot chocolate. Kalau makanan kan bisa nebeng, hehe...

Tiba - tiba aku mendengar sekelompok anak perempuan yang sedang "ngerumpi".

"Loe tahu nggak, anak cupu di kelas sekarang udah punya temen. Anak baru itu, namanya Fia. Sayang banget ya. Dia kan cantik, baik, pinter lagi! Tapi kok mau temenan sama anak cupu?!" Kata Tania kepada teman - teman se-gengnya. Dadaku tersentak ketika mendengarnya.

"Terpaksa kali dianya mau. Orang kursi yang kosong cuma di sebelahnya Lissa doang waktu Fia pertama kali dateng. Jelas lah, Fia mau temenan sama Lissa. Kan yang pertama kali diajak ngomong pasti Lissa." Sahut Vera. Rasa tidak nyaman menggerayangi tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tapi aku berusaha menahannya, dan bersikap biasa.

"Eh, tapi dia suka banget aku-kamu ke Lissa. Apa jangan - jangan mereka lesbi, ya?" Kata Rissa.

"Bener juga, ya?" Tania tampak setuju dengan apa yang Rissa ucapkan. "Selama ini kan Lissa pendiem banget, tuh. Mungkin aja dia menyembunyikan identitasnya sebagai lesbian? Maybe, siapa tahu?"

Aku sudah tidak tahan lagi. Otakku mendidih berat menahan emosi. Lissa memegang tanganku agar aku tidak melakukan hal - hal bodoh yang akan merugikan diriku sendiri.

"Fia, jangan. Aku udah biasa diginiin." Lissa tampak khawatir. Ia memperhatikan dahiku yang berkeringat dan berkerut karena menahan amarah.

"Jangan khawatir, bukan sifatku marah sambil gebrak meja." Aku pun melangkahkan kaki menuju meja mereka. Sedangkan Lissa hanya memilih untuk memandangku dari kejauhan sambil merasa gusar.

"Ehm, hai girls! Aku boleh gabung, nggak?" Kataku dengan nada bicara yang sok ramah. Mereka hanya memandangku dengan sinis dan jijik. Hanya Tania yang menganggukkan kepalanya. Dengan segera aku menjadi pusat perhatian mereka bertiga. "Kok kalian langsung diem? Lanjutin, dong? Kayaknya tadi seru banget?" Suasana tetap hening. "So, tadi siapa yang lesbi?" Aku menaikkan nada bicaraku pada huruf "i" terakhir. "Oke, paham, thank's ya pujiannya!" Lalu aku pergi menuju Lissa.

"Lissa, udah kamu bayarin punyaku?" Kataku seraya mengambil hot chocolate yang tadi ku pesan dari tangan Lissa. "Mood aku anjlok banget barusan. Tapi setidaknya aku lega, hufft..." Kataku sambil menyeruput hot chocolate. Setidaknya ini cukup untuk membuat damai suasana hati. Kami menuju salah satu meja yang tak jauh.

"Kamu berani banget, Fia. Padahal di kelas nggak ada yang berani sama mereka."

"Harga diri gue jatuh banget kalau nggak gitu-oh ya." Aku merogol kantong baju dan mengambil uang 13.000. "Ini, kita impas, ya?"

"Okay!" Kata Lissa sambil menerima uangnya.
...........

Tak terasa bel pulang pun sudah berbunyi. Kali ini aku tidak hanya berjalan dengan Lissa, tetapi juga dengan Alya Tri Kurnia, atau biasa dipanggil Ale, cewek berjilbab yang bertubuh agak bongsor. Tadi di kelas setelah jam istirahat, Miss. Fehab membagi kelas kami menjadi beberapa kelompok untuk memudahkan kami mengerjakan tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Tadi dia sudah banyak bercerita, termasuk sejarah namanya menjadi "Ale". Jadi, dia itu dulu ngefans banget sama Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan alias Iqbaale. Karena suka histeris setiap kali melihat foto Iqbaal dan berteriak "Ale! Ale!" maka jadilah nama panggilannya Ale.

"Rumah kalian dimana, sih?" Tanya Ale kepada kami berdua.

"Rumahku sih agak jauh, di Orchid Regency Kav 31." Jawabku.

"Kalo aku sih di Jalan Sumatera Utara  nggak tau persis nomor rumahnya, yang jelas searah sama Fia." Jawab Lissa.

"Oksy, berarti arah rumah gue beda sendiri. Di Jalan Sumatera Selatan. Motor gue diparkir di parkiran sebelah. Gue duluan, ya?" Kata Ale, lalu pergi.

"Bray!" Aku langsung menyapa ketika melihat Brian dari kejauhan. Dia bersama 3 orang teman laki - lakinya.

"Bro, gua cabut dulu, ya!" Brian berpamitan kepada teman - temannya. Dengan segera dia berlari ke arahku.

"Hai, Fia!" Dia melakukan tos padaku.

"Brian, kenalin, ini sahabat aku di kelas. Namanya Lissa." Kataku pada Brian. Kemudian aku menoleh ke Lissa. "Lissa, ini Brian. Dia tetangga sebelah rumah aku." Mereka berdua pun bersalaman.

"Oiya," Brian seperti mengingat sesuatu, kemudian merogoh - rogoh tasnya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kain berwarna hitam berlapis plastik tipis. Ia kemudian menyerahkannya padaku. "Ini, tadi Pak Dwi titip ke aku."

"Wah, jas Rollana. Akhirnya aku punya! Thank's Brian!" Aku tersenyum kegirangan.

"Fia, aku mau datang ke festival classic Claudio Monteverdi nanti malem. Kamu dateng, ya?" Kata Brian. Dadaku terasa sesak oleh gairah nada. Oh, Brian? Kamu juga suka Monteverdi? Kenapa semua ini terjadi begitu aneh? Dengan begini aku bisa mengenal lebih banyak lagi orang yang menyukai musik klasik. Terutama anak usia remaja seperti aku.

"Monteverdi? Wah, aku seneng banget! Lissa juga suka musik klasik. Ajak Lissa juga, ya? Kamu punya berapa tiket?"

"Aku punya dua." Jawab Brian. Gairahku yang tadinya terkumpul banyak tiba - tiba menghilang. Itu berarti aku tidak bisa mengajak Lissa.

"Iya, itu buat kamu sama Lissa. Aku pergi sama Mama di backstage." Ia pun menyerahkan tiketnya pada Lissa. "Alamatnya udah ada disitu. Kamu bisa bareng sama Mama aku nanti malem. Lissa bisa ke rumah Fia."

"Bentar - bentar, Brian. Kamu ngapain ke backstage?" Kata Lissa.

"Kita lihat aja nanti." Kata Brian."Em, aku duluan, ya? Buru - buru, nih. Ada urusan soalnya!" Brian pun berbalik arah dan pergi. Entah, dia bersikap agak aneh waktu berbalik arah tadi.

"Lissa, aku boleh lihat tiketnya?" Lissa menyerahkannya kepadaku. Aku pun langsung membacanya, dan aku terkejut dengan tulisan di tiket ini.


MADRIGALS OF LOVE

Conducted by:

Brian Lactangios

Tuesday, 3 January 2017

"What the- Brian?" Aku sampai tak bisa melafalkan tulisannya. "Brian Conductor?!"

"Wah, hebatnya...!" Sorak Lissa. Sedangkan aku sudah tak bisa melafalkan kata apapun lagi. Aku bisa saja tidak terkejut dengan konser ini, dan profesinya. Tetapi harga tiketnya yang tertulis "VIP 650.000" di pojok kanan atasnya. Tak ada musikus amatiran yang tiketnya bisa sold out dengan harga yang fantastis seperti itu. Pasti penggemarnya adalah orang - orang berkelas yang tidak main - main.
......

Malam yang dinanti pun telah tiba. Kukenakan gaun broklat berwarna merah marun bermotif mawar dengan rok yang mekar. Lalu aku duduk di teras rumah sambil menunggu kedatangan Lissa di rumah, dan berharap semoga dia tahu apa baju yang harus dikenakan untuk konser klasik seperti ini. Ku harap Lissa tahu apa yang harus dilakukan mala mini. Jangan sampai ia hanya mengenakan kaos oblong dengan mempertahankan kacamatanya, dan semakin diperparah dengan behel dan pita rambutnya yang berwarna – warni. Aku pun segera turun dari kamarku, dan memutuskan untuk menunggu Lissa datang.
              
“Kring! Kring!” Tiba – tiba aku mendengar suara orang membunyikan bel dengan mulutnya. “Kring! Kring! Kring! Lissa’s here!!! Fia, can you hear me?”
              
“Lissa?” Gumamku dengan sumringah. “Yeay, tunggu!!!” Aku pun berlari kearah pintu dan membukanya.

Seorang gadis bermata coklat muda dengan gaun berwarna putih polos dengan renda di lengannya, kini berdiri di hadapanku. Tidak ada kacamata, behel, ataupun pita – pita konyol di rambutnya. Hanyalah gadis cantik dengan rambut bergelombang dengan kepangan – kepangan kecil di tepi – tepi dahinya.

“Wow, Lissa.” Kataku takjub. “Kamu bisa cantik juga?”

“Ayo, berangkat!” Kata Lissa, sambil tersenyum cantik. Sumpah! Aku sendiri sampai tidak yakin kalau itu Lissa.

“Kalian sudah siap? Ayo kita berangkat!” Kata Tante Irma yang tiba – tiba berdiri di belakang Lissa. Kami pun segera menuju mobil.
……….

“Ayo, cepet – cepet. Cari kursi paling nyaman.” Kata Tante Irma. Kami bertiga tergesa – gesa menuju kursi VIP deretan tengah agak ke atas.

Tiba saatnya memainkan lagu pertama. Brian bertindak sebagai conductor, composer, dan arranger. Tangannya sangat lihai memegang tongkat baton seperti menari. Lagu ini lebih banyak diisi oleh suara biola yang terdengar seperti balada. 

"Keren nggak, Lissa?"

"Aku sudah lama pingin nonton konser karya - karya Mozart, tapi aku pikir yang ini nggak kalah kerennya, deh." Lissa tampak sangat takjub.

Aku melirik ke arah Tante Irma. Kedua matanya sangat berkaca - kaca dan salah satunya bahkan tak bisa membendungnya. Airmata perlahan - lahan menghiasi pipinya, namun senyuman di bibirnya terukir sangat jelas. Itukah yang dinamakan rasa bangga seorang Ibu kepada keberhasilan anaknya?

Tiba - tiba sebuah pusaran mengalir di kepalaku. Aku membayangkan sosok kedua orangtuaku yang sampai sekarang bahkan aku tidak mengenali wajahnya. Kalau mereka ada disisiku sekarang, akankah mereka juga akan bangga dengan berbagai keberhasilan dan kepandaianku? Akankah mereka menyayangiku juga? 

Bayangan itu pun mengalir deras di dalam kepalaku. Tak terasa airmataku pun ikut mengalir. Merasakan kesepian dan kerinduan yang teramat dalam. Mengingatkanku akan rasa haus akan kasih sayang kedua orangtuaku yang entah kemana berada.

Tak lama kemudian bayangan itu hilang. Berganti dengan tepuk tangan dari semua orang di gedung pertunjukan.
......

Semua orang keluar dari gedung pertunjukan. Aku, Lissa, dan Tante Irma segera menuju ke pintu belakang gedung, yang biasanya adalah tempat backstage.

"Pertunjukkannya bagus banget, ya?" Kataku kepada Tante Irma dan Lissa. "Tadinya aku pikir tiket ini mahal. Tapi ternyata setelah dilihat, ini terlalu murah untuk pertunjukan yang luar biasa."

Tante Irma tetap saja menangis terharu, tetapi dia menunjukkan senyum kebanggaan di wajahnya. Lissa merangkulnya, dan sesekali membelai punggungnya. "Dia anak tante satu - satunya, Fia. Tante bangga sekali sama dia. Ga tau jadinya kalau suatu saat dia tiba - tiba pergi dari hidup Tante."

"Wus, Tante. Ga boleh ngomong gitu. Kan ucapan itu do'a." Kata Lissa.

"Suatu saat pasti dia akan pergi, kan?"

Aku dan Lissa langsung paham. Sebagai perempuan, dia pasti sedang baper alias terbawa suasana.

"Hello, what's up my best?!" Tiba tiba terdengar suara dari belakang, disertai dengan kedua tangan yang merangkul kami bertiga dengan rapat. Tante Irma yang waktu itu berdiri di tengah langsung berbalik memeluk Brian dengan erat. "Aduh, Mama tersayang baper lagi, ya?" Katanya seraya membalas pelukan ibunya beberapa saat sebelum akhirnya dia melepas dan menghapus airmata ibunya.

"Mama bangga sama kamu, sayang." Tante Irma memeluknya lagi selama sesaat.

Brian tampak membusungkan dada, dan melempar pandang kepada kami semua. Dia tampak seperti seorang direktur yang hendak mengumumkan sesuatu. "Oya, perlu kalian tahu, ini konser tunggal aku yang pertama kali." Selang beberapa saat. "...dan untuk merayakan kesuksesannya, gimana kalau kita mancing, terus hasilnya kita bikin barbeque di tempat. Gimana?"

Aku dan Lissa langsung melempar pandang sebal padanya. Watta creative is this? Aku sudah menemukan orang lain yang bisa menjadi rival sekarang. Aku pun menjawabnya dengan jujur "Great!"

"Emang ikan enak dibikin barbeque?" Kata Lissa.

Brian hanya menarik napas dengan muka ngeles yang- sumpah pingin nonjok! Kalau aja mamanya ga ada, pasti itu orang sudah digotong dan dikubur dengan tubuh sudah direkonstruksi ulang. "Yah, gimana, ya? Dicoba aja. Siapa tahu enak."

"Udah, yuk! Ayo kita pulang." Kami bertiga bergegas pulang ke rumah masing - masing.

Previous: Eps. 2 Ternyata
Next: Eps.4 Rollana Vocalista Choir








Sabtu, 22 Oktober 2016

#2 Lavenda : Ternyata


Ku kayuh sepedaku dengan kencang, menerabas udara yang panas, kotor, dan berdebu. Rumahku lumayan jauh dari sekolah.

Setelah satu jam mengayuh, akhirnya aku sampai di depan pagar rumahku yang tidak pernah digembok. Karena di dalamnya terdapat dua buah rumah yang aku tidak tahu siapa penghuninya. Rumahku berada paling dekat dengan pagar, dan rumah satunya berada di sebelahnya. Aku pun membuka pagar dan masuk.

Pada saat aku menginjakan kaki di atas rumput, tiba - tiba ada orang lain yang sampai di gerbang, 1 meter dari tempatku berdiri. Aku mengenalnya, dia yang tadi menjatuhkan sepedanya di atas kepalaku. Apakah dia penghuni rumah sebelah, atau dia memang mengikutiku, aku tidak tahu.

"Kamu yang tadi itu, kan? Kamu ngikutin aku?"

"Enggak, lah, ge-er banget. Aku tinggal disini juga." Ia tersenyum saat mengatakannya. Ia langsung memasuki gerbang dan menutupnya. Sekarang dia berada sejajar denganku. "Tahu gitu kita tadi bareng. Kan enak ada yang bisa diajak ngobrol."

"Ehemm..." Aku hanya berdeham. "Emang kamu udah lama tinggal disini?"

"Lima belas tahun. Dulu rumahmu rumahku juga. Tapi Mama memutuskan untuk menjualnya. Katanya biar rame, dan ada yang ngurusin selagi dia kerja."

"Hmmm..."

"O iya, kamu mau main ke rumahku, nggak? Biar kita lebih mengenal satu sama lain. Kita kan tetangga sekarang."

"Maaf tapi, bukannya nggak baik kalau cewek main ke rumah cowok kalau dia cuma sendirian?" Balasku lirih.

"Mamaku lagi cuti, kok. Dia pasti seneng banget bisa menyambut tetangga barunya." Dia meyakinkanku.

"Oke, bentar aku mau parkir sepedaku dulu." Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Dia juga. Tak lama, aku menyusul Brian yang sudah menunggu di depan rumahnya.

"Yuk, masuk." Kata Brian.

"Assalamualaikum..." Aku mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam..." Suara lembut menjawabnya dari dalam. Wajahnya perlahan - lahan tampak dari bayangan yang gelap. Dia sangat cantik, wajahnya mirip dengan Brian, hanya saja terdapat sedikit keriput di ekor matanya. "Oh, ini tetangga baru kita. Mari masuk.

Lalu dia membawaku ke meja makan. Di sana sudah ada tiga buah mangkuk berisi makanan. Aku tidak tahu makanan apa itu. Aku langsung mengikuti mereka duduk.

"Ini namanya sekoteng. Khas Bogor." Kata Mama Brian.

"Aku belum pernah makan, Tante. Tapi orang cantik kaya' Tante pasti enak kalo masak."

"Ah, kamu bisa aja. Ayo buruan dimakan. Keburu dingin. Oh iya, kamu bisa panggil Tante Irma."

"Iya Tante Irma." Aku pun menyuapkan satu demi satu sendok sekoteng ke mulut. Rasanya hangat sekali. Aku memang suka dengan makanan hangat yang mengandung jahe.

"Oh ya, nama kamu siapa?" Tanya Tante Irma.

"Fia, Tante. Lengkapnya Anindita Alifia. Saya baru 2 hari tinggal disini." Jawabku.

"Oh, orang tua kamu dinas dimana?" Sudah aku duga pertanyaan ini pasti muncul.

"Itu dia. Fia belum pernah melihat mereka selama ini. Fia cuma tinggal sama Budhe, kakaknya Mama."

"Oh, maaf." Kata Tante Irma dalam raut wajah penuh penyesalan. Aku berusaha menunjukkan bahwa aku tidak terganggu dengan ucapannya barusan.

"Tapi kata Budhe, aku mirip banget sama Mama. Mataku mirip Papa. Jadi, meskipun Fia nggak pernah ketemu Mama, saat Fia lihat bayangan Fia sendiri di cermin, aku anggap itu pertemuan aku sama Mama. Saat aku lihat mataku sendiri, aku anggap, Fia lagi menatap mata Papa. Itu sudah cukup untuk Fia." Tak terasa air mata Tante Irma menetes begitu mendengarku bercerita. Padahal aku menceritakannya dengan penuh semangat. Aku sendiri bahagia menjalani semuanya.

"Terimakasih ya, Tante, atas semuanya." Kataku.

"Lain kali, jangan sungkan - sungkan mampir lagi." Kata Tante Irma.


Rabu, 19 Oktober 2016

#1 Lavenda : Sebuah Nama

"Halo dunia, namaku Anindita Alifia. Orang - orang biasa memanggilku Fia, si cewek cantik nan ceria. Banyak juga orang yang memanggilku si Pintar, si Cerdas, si Cemerlang. Mereka pikir aku pemutih baju apa dipanggil "Cemerlang"? Haha.

Hari ini adalah hari pertamaku ke sekolah baru di Jakarta. Deg - degan, sih. Tapi aku harus stay kelihatan pede - dan melepaskan semua beban hidup ke ruji sepeda yang kukayuh setiap hari."

"Akhirnya sampai juga!" Gumamku. Gerbang sekolah betuliskan "Rollana : Senior High School" sudah di depan mata. Di parkiran sekolah ada Jitensha Okiba, yaitu parkiran sepeda bertingkat ala Jepang yang bisa digunakan oleh semua murid sekolah. Aku juga memarkirkan sepedaku disana. Sembari menunggu bel masuk berbunyi, aku memutuskan untuk mencari ruang BK. Karena aku siswi baru yang harus mengenal lebih banyak tentang sekolah ini.

Suasana sekolah ini sangatlah sejuk, karena lahan yang luas dan banyak pepohonan. Kolam - kolamnya dibuat sangat alami seperti danau. Ada beberapa jembatan di atasnya. Uniknya, dalam sekolah ini ada sebuah sungai yang membatasi "Rollana : Senior High School" dan "Rollana : Junior High School". Tentunya, sangat berbeda dengan sekolahku yang sebelumnya. Jarang sekali terdapat pepohonan besar, gersang, banyak polusi karena berada di seberang jalan, dan bekas bangunan Belanda.

Setelah berkeliling lama sekali, akhirnya aku menemukan Ruang BK. "Permisi..." Aku mengucapkan salam dengan lirih. Lalu ada suara menjawab,"Iya, silahkan masuk"

Aku pun melangkahkan kaki perlahan, mencari sumber suara. Seorang guru laki - laki berkacamata menatapku dari kejauhan."Ada apa, dek?" Aku pun menghampirinya dan duduk di kursi yang sengaja disiapkan di depan mejanya, berhadapan dengannya.

"Begini, Pak. Jadi saya murid baru kelas XI, dari kelas akselerasi di SMAN 91 Surabaya. Saya mau ke kelas tapi saya nggak tau kelasnya yang mana."

"Bisa ditunjukkan rapotnya?" Pandanganku tertuju pada papan nama di dadanya yang bertuliskan Dwikora Yusuf N.

"Oh, iya." Aku pun membuka tas srempang hitam-ku dan menyerahkan buku rapor berwarna hitam milik sekolahku dulu, lalu meyerahkannya. "Ini, Pak Dwi-ko-ra~"

"Hmmm... nilai kamu lumayan juga, ya?" Katanya seraya menunjuk nilai - nilai di rapor yang mayoritas bertuliskan 95 ke atas, bahkan beberapa ada yang sempurna 100. Bapak ini sangat menyebalkan kalau dilihat dari cara bicaranya. "Kamu nggak pernah ikut ekskul apapun, ya?"

"Kalau di sekolah lama, saya ikut ekskul Paduan Suara dan Vocal Group, Pak. Di halaman belakang (rapor) ditulis, kok. Kalau disini ada, saya mau ikut juga, Pak."

"Oh... berapa kali juara?" Tanyanya ketus.

"3 kali, Pak. Satu nasional, satu provinsi, dan satu internasional. O iya, saya juga bisa menciptakan lagu. Saya baru saja menang lomba cipta lagu remaja tingkat nasional." Nada bicaraku sangat bersemangat. Aku benar - benar sebal dengan orang ketus macam ini. Rasanya aku ingin sekali menyombongkan semua yang kumiliki di depannya.

"Bagus..." Desisnya lagi. "Terus, kamu bisa apa?" Uhhhh, aku sudah tidak tahan!!! Aku ingin memukulnya kalau misalnya dia seumuranku.

"Oiya, Pak." Aku tiba - tiba teringat. Aku pun menghirup napas panjang untuk berbicara cepat tanpa jeda."Coba ceritakan sejarah singkat tentang namanya. Kenapa namanya Dwikora Yusuf, pasti huruf N di belakang itu singkatan dari Nugroho. Iya, kan? Saya tahu itu, karena orang Indonesia banyak yang punya nama itu dan cuma nama itu yang cocok dipasang di belakang nama Bapak. Pasti tanggal lahir Bapak bertepatan dengan peristiwa Dwikora, tanggal 3 Mei. Pasti Bapak tahu. Itu loh, Dwi Komando Rakyat yang di pelajaran Sejarah Indonesia. Jadi, ceritanya-"

"STOP!!!" Ia menggebrak mejanya, membuatku tersentak. "Ayo kamu saya antar ke kelas." Aku tersenyum mendengarnya. Akhirnya aku berhasil membuatnya kesal.

Tidak lama, aku pun sampai di depan kelas yang di depan pintunya terpampang "XI Science Acceleration".

"Terima Kasih, Pak!" Kataku seraya mencium tangannya. Guru berhijab itu pun menghampiriku dari dalam kelas. Semua guru memakai nama dada, sehingga sangat tidak susah mengetahui namanya.

"Ini, ada murid baru. Dia sebelumnya anak aksel, jadi saya bawa kesini. Tadi saya sudah membuktikan kemampuannya di Ruang BK. Dia luar biasa sekali." Kata Pak... Dwikora? Jujur, aku sangat terkejut mendengar perkataannya tadi. Mungkin tidak boleh terlalu cepat menilai orang lain.

"Oh, siapa namanya?" Tanya Bu Neira.

"Saya Fia, Bu. Anindita Alifia." Aku menyaliminya.

"Kamu sopan sekali, ya? Selamat datang di kelas kamu. Kebetulan saya wali kelas disini. Ayo silahkan." Guru itu sangat ramah padaku, beda dengan guru BK yang tadi. Ia beralih pandang. "Mari, Pak Nuggie.

"Nuggie?" Gumamku heran. Bu Neira menggandeng tanganku masuk kedalam. Rasanya sangat asing, dan aku baru sadar kalau mereka semua tidak berseragam. Mereka semua mengenakan setelan yang bebas, tetapi diberi jas yang sama, berwarna hitam dan bertuliskan Rollana dengan lambang pena terbalik, juga ada nama di sisi sebelah kanannya. Berbeda dengan aku yang memakai seragam putih abu - abu.

"Anak - anak, kita kedatangan murid baru, nih. Coba kamu perkenalkan diri dulu. Nama, tanggal lahir, atau apalah. Terus kenapa kamu pindah." Kata Bu Neira sambil menepuk pundakku. Ia kemudian berdiri di sampingku.

"Hai, nama aku Anindita Alifia dari Surabaya. Aku biasa dipanggil Fia. Umur aku baru 14 tahun, karena aku masuk TK umur 3 tahun, dan setelah itu aku selalu masuk aksel sampai sekarang. Alasan aku pindah adalah karena Budhe aku dokter. Dia pindah tugas ke Jakarta, dan aku harus ikut."

"Kamu tinggal sama Tante? Kenapa nggak tinggal sama orang tua kamu?" Jantungku berdetak cepat mendengar kalimat barusan. Tapi aku masih berusaha terlihat sangat ceria.

"Ya... itu masalahnya, Bu. Saya belum pernah lihat muka orang tua saya dari saya kecil." Kataku dengan senyum yang memaksa. Entah kenapa sudah ada dua hal menyebalkan yang terjadi disini padahal ini masih pagi.

Bu Neira tampak bingung dan menyesal setelah mengatakan itu. Ia pun berbicara dengan nada perlahan, "Emmm.... Maaf, Ibu nggak bermaksud begitu. Ehhh..." Dia berpikir sejenak, mencari tempat duduk yang masih kosong. "Lissa, Fia akan sebangku bareng kamu." Katanya sambil menunjuk gadis berkacamata dan berbehel dengan bangku kosong di sebelah kirinya. Ia duduk paling depan. Ia hanya bereaksi dengan menganggukkan kepala. "Fia, kamu bisa duduk sekarang."

"Iya, Bu." Aku langsung menuju ke sebelah Lissa. Ia sepertinya anak culun dan tidak pandai bergaul dengan teman - temannya. Seketika dalam hatiku terpatri sebuah tujuan; aku harus membantunya. "Lissa," Kataku lirih, sambil menyodorkan tangan. "Fia." Dia dengan ragu menggapainya.

Berada di bangku paling belakang mempermudah aku untuk mengobrol dengannya. Ia kebanyakan hanya merespons iya, tidak, anggukan, atau isyarat sejenisnya. Lama kelamaan ia semakin bisa menyesuaikan denganku. Kami mulai berdiskusi seputar pelajaran dan cara mengerjakan soal matematika.

"Tapi... aku belum pernah ke kantin." Jawab Lissa saat aku mengajaknya ke kantin pada saat jam istirahat.

"Kamu sudah dua tahun sekolah disini dan kamu belum pernah ke kantin? Are you kidding me?" Ujarku tanpa spasi. Karena terkejut aku langsung berdiri, keluar dari himpitan meja dan kursi kelas.

"Aku selalu di kelas, belajar dan baca buku."

"Lissa, hidup itu bukan sekedar belajar. Tapi nikmati dan praktekkan di luar. Aku tahu kamu pasti takut dibully, kan? Aku janji bakalan jadi tamengnya kamu kalau kamu disakiti. Mulai sekarang kamu harus jadi temen aku, terbuka sama aku, dan pastinya kita harus saling menjaga satu sama lain. Setuju?" Aku memberikannya jari kelingking. Aku berharap dia tahu isyarat apa ini. Dia pun berdiri dan melingkarkan jari kelingkingnya padaku juga.

"Kayaknya nggak afdol kalau cuma kamu yang janji, Fia. Kita sahabat sekarang. Aku janji akan selalu ada. Kita sahabat, oke?"

"Oke!" Kami pun saling berpelukkan. Sejak saat itu kami selalu bersama.

Akhirnya, tiba saatnya pulang sekolah. Aku berjalan lamban, menikmati pemandangan sekitar yang sedap. Setidaknya sampai aku keluar gerbang dan semuanya kembali panas dan berpolusi tinggi.

Perlahan - lahan aku pun mengambil sepedaku yang diparkir di tingkat bawah. Sejujurnya, aku sedikit kesulitan dengan parkiran semacam ini. Mungkin karena belum terbiasa? Entahlah.

Tiba - tiba kepalaku terbentur oleh ban sepeda lain yang diparkir tepat di atas sepedaku. Ketika aku menoleh, ternyata ada seorang cowok berambut hitam legam dengan model flip yang sedang mengambil sepedanya.

"Eh, maaf, mbak! Maaf aku nggak sengaja." Kata cowok itu sambil berusaha melihat dahiku dengan menyentuhnya. Ia tidak sengaja mengibaskan rambutnya.

"Nggak papa, kok, nggak papa." Kataku lirih sambil memegangi jidatku yang memerah. Aku langsung tegap kembali dan menatapnya dalam - dalam. "Kamu jadi cowok ya jangan sembrono, dong! Lihat ini, bikin benjol jidat orang." Kataku kesal sambil berlalu pergi. Tentunya sambil tersenyum - senyum kecil mengingatnya saat mengibas rambutnya. Alisnya tebal, dan matanya hitam legam seperti elang. Jas hitamnya bertuliskan "Brian Luckyta Angios." Hmmm, nama yang sangat aneh.

Kutancapkan gas dengan segera, meninggalkannya.

Next Eps 2 : Ternyata