Minggu, 06 November 2016

#3 Lavenda : Madrigals of Love

"Dear Diary,
Hari ini adalah hari yang membahagiakan. Sekolah baru, temen baru, guru baru, rumah baru, apalagi ya? Baju baru? Seragam baru? Sayangnya sekolah ini tidak butuh seragam. Hanya jas dan lambang.

Mamanya Brian itu baik banget, ya? Baru kenal aja sudah disambut sedemikian rupa. Gimana nanti? Haha. Baru kenal sekali aja aku sudah terkesan."

Aku pun menutup buku harianku dan segera bersiap - siap untuk tidur. Kumatikan lampu dan naik ke atas kasur, lalu menarik selimutku yang berwarna ungu dan bermotif bunga lavender. Mataku terpejam seketika.

Aku selalu memimpikan udara sejuk dan hamparan bunga lavender berwarna ungu setiap malam tiba.
...........

Pagi pun telah tiba, ku buka jendela dan bersiap - siap ke sekolah. Kali ini aku menggunakan setelan kemeja krem berkerah selutut dan celana legging coklat. Rambut hitamku yang lebat berponi aku beri hiasan berupa bandana pita. Seperti biasa, aku mengendarai sepeda.

Desiran angin pagi terasa semilir membelai wajah dan rambutku. The second day of school, mungkin itu judul yang tepat untuk mengisi buku harianku hari ini. “Halo dunia…” Gumamku perlahan. Itu adalah kalimat yang selalu aku ucapkan ketika akan memulai hari. Entah kenapa, menyapa dunia dan menyebutkan tujuan hidup di awal hari adalah hal yang sangat membuatku bersemangat.

“Fia!” Aku tahu siapa yang menepuk pundakku dari belakang. Suaranya yang hangat itu amat ku kenal. Ia menuntun sepeda BMX berwarna biru muda cerah. “Berangkat bareng, yuk!”

“Okay!” Kataku, yang langsung menuntun sepeda ke luar pagar, disusul oleh Brian. Ia langsung mengunci pagar dengan cepat dan kami mengayuh bersama.
...........

Kali ini aku menggunakan earphone menuju kelas. Salah satu kebiasaan lamaku, mendengarkan musik Mozart dan lagu – lagu bertempo lambat sembari menunggu bel sekolah berbunyi.

“Fia!” Lissa melambaikan tangan saat aku mencapai ambang pintu kelas. Ia langsung menghampiriku, tampak sumringah menyambut kedatanganku. “Kamu lagi dengerin apa? Mau, dong"

“Kalaupun aku kasih tahu, kamu mungkin ga bakalan ngerti.” Jawabku.

“Emang kenapa?” Tanya Lissa.

“Hmmm… nggak apa – apa, sih. Ini, coba kamu dengerin.” Kataku sambil melepas earphone yang menempel di telinga kananku, lalu menyerahkannya pada Lissa.

“Wow…” Matanya tampak bercahaya. Ia bersenandung ringan. “And through it all she offers me protection… A lot of love and affection... Whether I’m right or wrong… And down the waterfall…”

Ia membuatku terkejut. Selama hidupku, tidak ada satupun teman sekolahku yang mengerti musik yang aku suka. “Kamu tahu lagu ini? Sumpah, baru kali ini aku nemu temen yang tahu lagu ini.”

“Aku punya yang versi Robbie Williams. Aku biasa dengerin pakai gramophone di rumah. Kamu kayaknya lebih suka versi yang ini. Versi Declan Galbraith lebih ngebeat soalnya.”

“Really?” Aku merasakan ada cahaya terpancar dari kedua mataku. Aku merasa seperti Superman yang sedang memancarkan sinar laser. Ku peluk sahabatku itu dengan penuh kasih sayang. “You are my real best friend…” Bisikku padanya. Dengan segera aku sadar telah membuat dadanya sesak karena terharu. Tiba – tiba bel berbunyi dan kami melepaskan pelukan menuju bangku masing – masing.
...................

Jam istirahat pun dimulai. Aku dan Lissa menuju ke kantin untuk mengamati sekitar, barangkali ada makanan yang bisa dibeli.

"Jujur, aku belum pernah ke kantin sebelumnya." Kata Lissa, yang membuatku heran.

"Kamu beneran disini dari kelas sepuluh kan, Lissa?" Dia tidak menjawab apapun. Kami berhenti di salah satu kios. Lissa memesan segelas jus apel dan sepiring omelet. Sedangkan aku hanya memesan hot chocolate. Kalau makanan kan bisa nebeng, hehe...

Tiba - tiba aku mendengar sekelompok anak perempuan yang sedang "ngerumpi".

"Loe tahu nggak, anak cupu di kelas sekarang udah punya temen. Anak baru itu, namanya Fia. Sayang banget ya. Dia kan cantik, baik, pinter lagi! Tapi kok mau temenan sama anak cupu?!" Kata Tania kepada teman - teman se-gengnya. Dadaku tersentak ketika mendengarnya.

"Terpaksa kali dianya mau. Orang kursi yang kosong cuma di sebelahnya Lissa doang waktu Fia pertama kali dateng. Jelas lah, Fia mau temenan sama Lissa. Kan yang pertama kali diajak ngomong pasti Lissa." Sahut Vera. Rasa tidak nyaman menggerayangi tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tapi aku berusaha menahannya, dan bersikap biasa.

"Eh, tapi dia suka banget aku-kamu ke Lissa. Apa jangan - jangan mereka lesbi, ya?" Kata Rissa.

"Bener juga, ya?" Tania tampak setuju dengan apa yang Rissa ucapkan. "Selama ini kan Lissa pendiem banget, tuh. Mungkin aja dia menyembunyikan identitasnya sebagai lesbian? Maybe, siapa tahu?"

Aku sudah tidak tahan lagi. Otakku mendidih berat menahan emosi. Lissa memegang tanganku agar aku tidak melakukan hal - hal bodoh yang akan merugikan diriku sendiri.

"Fia, jangan. Aku udah biasa diginiin." Lissa tampak khawatir. Ia memperhatikan dahiku yang berkeringat dan berkerut karena menahan amarah.

"Jangan khawatir, bukan sifatku marah sambil gebrak meja." Aku pun melangkahkan kaki menuju meja mereka. Sedangkan Lissa hanya memilih untuk memandangku dari kejauhan sambil merasa gusar.

"Ehm, hai girls! Aku boleh gabung, nggak?" Kataku dengan nada bicara yang sok ramah. Mereka hanya memandangku dengan sinis dan jijik. Hanya Tania yang menganggukkan kepalanya. Dengan segera aku menjadi pusat perhatian mereka bertiga. "Kok kalian langsung diem? Lanjutin, dong? Kayaknya tadi seru banget?" Suasana tetap hening. "So, tadi siapa yang lesbi?" Aku menaikkan nada bicaraku pada huruf "i" terakhir. "Oke, paham, thank's ya pujiannya!" Lalu aku pergi menuju Lissa.

"Lissa, udah kamu bayarin punyaku?" Kataku seraya mengambil hot chocolate yang tadi ku pesan dari tangan Lissa. "Mood aku anjlok banget barusan. Tapi setidaknya aku lega, hufft..." Kataku sambil menyeruput hot chocolate. Setidaknya ini cukup untuk membuat damai suasana hati. Kami menuju salah satu meja yang tak jauh.

"Kamu berani banget, Fia. Padahal di kelas nggak ada yang berani sama mereka."

"Harga diri gue jatuh banget kalau nggak gitu-oh ya." Aku merogol kantong baju dan mengambil uang 13.000. "Ini, kita impas, ya?"

"Okay!" Kata Lissa sambil menerima uangnya.
...........

Tak terasa bel pulang pun sudah berbunyi. Kali ini aku tidak hanya berjalan dengan Lissa, tetapi juga dengan Alya Tri Kurnia, atau biasa dipanggil Ale, cewek berjilbab yang bertubuh agak bongsor. Tadi di kelas setelah jam istirahat, Miss. Fehab membagi kelas kami menjadi beberapa kelompok untuk memudahkan kami mengerjakan tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Tadi dia sudah banyak bercerita, termasuk sejarah namanya menjadi "Ale". Jadi, dia itu dulu ngefans banget sama Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan alias Iqbaale. Karena suka histeris setiap kali melihat foto Iqbaal dan berteriak "Ale! Ale!" maka jadilah nama panggilannya Ale.

"Rumah kalian dimana, sih?" Tanya Ale kepada kami berdua.

"Rumahku sih agak jauh, di Orchid Regency Kav 31." Jawabku.

"Kalo aku sih di Jalan Sumatera Utara  nggak tau persis nomor rumahnya, yang jelas searah sama Fia." Jawab Lissa.

"Oksy, berarti arah rumah gue beda sendiri. Di Jalan Sumatera Selatan. Motor gue diparkir di parkiran sebelah. Gue duluan, ya?" Kata Ale, lalu pergi.

"Bray!" Aku langsung menyapa ketika melihat Brian dari kejauhan. Dia bersama 3 orang teman laki - lakinya.

"Bro, gua cabut dulu, ya!" Brian berpamitan kepada teman - temannya. Dengan segera dia berlari ke arahku.

"Hai, Fia!" Dia melakukan tos padaku.

"Brian, kenalin, ini sahabat aku di kelas. Namanya Lissa." Kataku pada Brian. Kemudian aku menoleh ke Lissa. "Lissa, ini Brian. Dia tetangga sebelah rumah aku." Mereka berdua pun bersalaman.

"Oiya," Brian seperti mengingat sesuatu, kemudian merogoh - rogoh tasnya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kain berwarna hitam berlapis plastik tipis. Ia kemudian menyerahkannya padaku. "Ini, tadi Pak Dwi titip ke aku."

"Wah, jas Rollana. Akhirnya aku punya! Thank's Brian!" Aku tersenyum kegirangan.

"Fia, aku mau datang ke festival classic Claudio Monteverdi nanti malem. Kamu dateng, ya?" Kata Brian. Dadaku terasa sesak oleh gairah nada. Oh, Brian? Kamu juga suka Monteverdi? Kenapa semua ini terjadi begitu aneh? Dengan begini aku bisa mengenal lebih banyak lagi orang yang menyukai musik klasik. Terutama anak usia remaja seperti aku.

"Monteverdi? Wah, aku seneng banget! Lissa juga suka musik klasik. Ajak Lissa juga, ya? Kamu punya berapa tiket?"

"Aku punya dua." Jawab Brian. Gairahku yang tadinya terkumpul banyak tiba - tiba menghilang. Itu berarti aku tidak bisa mengajak Lissa.

"Iya, itu buat kamu sama Lissa. Aku pergi sama Mama di backstage." Ia pun menyerahkan tiketnya pada Lissa. "Alamatnya udah ada disitu. Kamu bisa bareng sama Mama aku nanti malem. Lissa bisa ke rumah Fia."

"Bentar - bentar, Brian. Kamu ngapain ke backstage?" Kata Lissa.

"Kita lihat aja nanti." Kata Brian."Em, aku duluan, ya? Buru - buru, nih. Ada urusan soalnya!" Brian pun berbalik arah dan pergi. Entah, dia bersikap agak aneh waktu berbalik arah tadi.

"Lissa, aku boleh lihat tiketnya?" Lissa menyerahkannya kepadaku. Aku pun langsung membacanya, dan aku terkejut dengan tulisan di tiket ini.


MADRIGALS OF LOVE

Conducted by:

Brian Lactangios

Tuesday, 3 January 2017

"What the- Brian?" Aku sampai tak bisa melafalkan tulisannya. "Brian Conductor?!"

"Wah, hebatnya...!" Sorak Lissa. Sedangkan aku sudah tak bisa melafalkan kata apapun lagi. Aku bisa saja tidak terkejut dengan konser ini, dan profesinya. Tetapi harga tiketnya yang tertulis "VIP 650.000" di pojok kanan atasnya. Tak ada musikus amatiran yang tiketnya bisa sold out dengan harga yang fantastis seperti itu. Pasti penggemarnya adalah orang - orang berkelas yang tidak main - main.
......

Malam yang dinanti pun telah tiba. Kukenakan gaun broklat berwarna merah marun bermotif mawar dengan rok yang mekar. Lalu aku duduk di teras rumah sambil menunggu kedatangan Lissa di rumah, dan berharap semoga dia tahu apa baju yang harus dikenakan untuk konser klasik seperti ini. Ku harap Lissa tahu apa yang harus dilakukan mala mini. Jangan sampai ia hanya mengenakan kaos oblong dengan mempertahankan kacamatanya, dan semakin diperparah dengan behel dan pita rambutnya yang berwarna – warni. Aku pun segera turun dari kamarku, dan memutuskan untuk menunggu Lissa datang.
              
“Kring! Kring!” Tiba – tiba aku mendengar suara orang membunyikan bel dengan mulutnya. “Kring! Kring! Kring! Lissa’s here!!! Fia, can you hear me?”
              
“Lissa?” Gumamku dengan sumringah. “Yeay, tunggu!!!” Aku pun berlari kearah pintu dan membukanya.

Seorang gadis bermata coklat muda dengan gaun berwarna putih polos dengan renda di lengannya, kini berdiri di hadapanku. Tidak ada kacamata, behel, ataupun pita – pita konyol di rambutnya. Hanyalah gadis cantik dengan rambut bergelombang dengan kepangan – kepangan kecil di tepi – tepi dahinya.

“Wow, Lissa.” Kataku takjub. “Kamu bisa cantik juga?”

“Ayo, berangkat!” Kata Lissa, sambil tersenyum cantik. Sumpah! Aku sendiri sampai tidak yakin kalau itu Lissa.

“Kalian sudah siap? Ayo kita berangkat!” Kata Tante Irma yang tiba – tiba berdiri di belakang Lissa. Kami pun segera menuju mobil.
……….

“Ayo, cepet – cepet. Cari kursi paling nyaman.” Kata Tante Irma. Kami bertiga tergesa – gesa menuju kursi VIP deretan tengah agak ke atas.

Tiba saatnya memainkan lagu pertama. Brian bertindak sebagai conductor, composer, dan arranger. Tangannya sangat lihai memegang tongkat baton seperti menari. Lagu ini lebih banyak diisi oleh suara biola yang terdengar seperti balada. 

"Keren nggak, Lissa?"

"Aku sudah lama pingin nonton konser karya - karya Mozart, tapi aku pikir yang ini nggak kalah kerennya, deh." Lissa tampak sangat takjub.

Aku melirik ke arah Tante Irma. Kedua matanya sangat berkaca - kaca dan salah satunya bahkan tak bisa membendungnya. Airmata perlahan - lahan menghiasi pipinya, namun senyuman di bibirnya terukir sangat jelas. Itukah yang dinamakan rasa bangga seorang Ibu kepada keberhasilan anaknya?

Tiba - tiba sebuah pusaran mengalir di kepalaku. Aku membayangkan sosok kedua orangtuaku yang sampai sekarang bahkan aku tidak mengenali wajahnya. Kalau mereka ada disisiku sekarang, akankah mereka juga akan bangga dengan berbagai keberhasilan dan kepandaianku? Akankah mereka menyayangiku juga? 

Bayangan itu pun mengalir deras di dalam kepalaku. Tak terasa airmataku pun ikut mengalir. Merasakan kesepian dan kerinduan yang teramat dalam. Mengingatkanku akan rasa haus akan kasih sayang kedua orangtuaku yang entah kemana berada.

Tak lama kemudian bayangan itu hilang. Berganti dengan tepuk tangan dari semua orang di gedung pertunjukan.
......

Semua orang keluar dari gedung pertunjukan. Aku, Lissa, dan Tante Irma segera menuju ke pintu belakang gedung, yang biasanya adalah tempat backstage.

"Pertunjukkannya bagus banget, ya?" Kataku kepada Tante Irma dan Lissa. "Tadinya aku pikir tiket ini mahal. Tapi ternyata setelah dilihat, ini terlalu murah untuk pertunjukan yang luar biasa."

Tante Irma tetap saja menangis terharu, tetapi dia menunjukkan senyum kebanggaan di wajahnya. Lissa merangkulnya, dan sesekali membelai punggungnya. "Dia anak tante satu - satunya, Fia. Tante bangga sekali sama dia. Ga tau jadinya kalau suatu saat dia tiba - tiba pergi dari hidup Tante."

"Wus, Tante. Ga boleh ngomong gitu. Kan ucapan itu do'a." Kata Lissa.

"Suatu saat pasti dia akan pergi, kan?"

Aku dan Lissa langsung paham. Sebagai perempuan, dia pasti sedang baper alias terbawa suasana.

"Hello, what's up my best?!" Tiba tiba terdengar suara dari belakang, disertai dengan kedua tangan yang merangkul kami bertiga dengan rapat. Tante Irma yang waktu itu berdiri di tengah langsung berbalik memeluk Brian dengan erat. "Aduh, Mama tersayang baper lagi, ya?" Katanya seraya membalas pelukan ibunya beberapa saat sebelum akhirnya dia melepas dan menghapus airmata ibunya.

"Mama bangga sama kamu, sayang." Tante Irma memeluknya lagi selama sesaat.

Brian tampak membusungkan dada, dan melempar pandang kepada kami semua. Dia tampak seperti seorang direktur yang hendak mengumumkan sesuatu. "Oya, perlu kalian tahu, ini konser tunggal aku yang pertama kali." Selang beberapa saat. "...dan untuk merayakan kesuksesannya, gimana kalau kita mancing, terus hasilnya kita bikin barbeque di tempat. Gimana?"

Aku dan Lissa langsung melempar pandang sebal padanya. Watta creative is this? Aku sudah menemukan orang lain yang bisa menjadi rival sekarang. Aku pun menjawabnya dengan jujur "Great!"

"Emang ikan enak dibikin barbeque?" Kata Lissa.

Brian hanya menarik napas dengan muka ngeles yang- sumpah pingin nonjok! Kalau aja mamanya ga ada, pasti itu orang sudah digotong dan dikubur dengan tubuh sudah direkonstruksi ulang. "Yah, gimana, ya? Dicoba aja. Siapa tahu enak."

"Udah, yuk! Ayo kita pulang." Kami bertiga bergegas pulang ke rumah masing - masing.

Previous: Eps. 2 Ternyata
Next: Eps.4 Rollana Vocalista Choir