Seminggu
setelah konser, aku merasakan hal yang benar – benar baru dalam hidupku.
Dimulai dari Lissa, yang sudah bisa terbuka kepada orang lain, dan teman baruku
Ale dan Zahwa. Sekarang aku lebih sering berempat dengan teman – temanku. Kalau
anak cowok, aku punya Biyu, Arka, dan Sai.
Abiyu
Armijin, cowok dengan postur tubuh tak terlalu tinggi tetapi tampak mencolok
dengan rambutnya yang seperti batok kelapa yang dibalik di atas kepalanya. Aku
ketemu dia di “Rollana Vocalista Choir Audition”, yaitu sebuah audisi untuk
merekrut anggota paduan suara sekolah. Sedangkan nama timnya lebih sering disebut
Rollana Vocalista Choir (RVC). Dia menyenangkan sekali, bahkan dia cowok paling
menyenangkan yang pernah aku kenal. Dia menerimaku apa adanya, bahkan sejak
hari pertama perkenalan di RVC.
Sehari
setelah konser Madrigals of Love,
entah kenapa aku mendapatkan daya tarik tersendiri pada not – not balok yang
tersusun secara sistematis dalam sebuah partitur bertingkat. Tiba – tiba aku
menghadiri audisi dan dua hari kemudian aku terpilih dengan suara Soprano
Koloratura. Jangkauan nada 3 Oktaf 3 nada, dari D3 ke G6. Aku semula tidak
pernah membayangkan bahwa suaraku bisa setinggi ini. Mungkin aku sesekali
menyanyi lagu Sarah Brightman dan Andrea Bocelli yang berjudul Time To Say Goodbye, tetapi dengan nada
asli yang bagiku masih posisi yang nyaman di tenggorokan.
Di
RVC ini aku mengenal seorang pelatih asal Yogyakarta bernama Tirta. Anggota
paduan suara biasa memanggilnya Matir, atau singkatan dari Mas Tirta.
Sejujurnya, aku agak sebal melihat caranya bersikap seolah – olah ngeboss dan
paling bisa. Juga caranya berbicara yang kasar dan nadanya yang tinggi, tidak
seperti orang Jogja pada umumnya. Menyebalkan! Tak jarang aku memplesetkan
namanya menjadi Amatir, Montir, Kentir, Mati, dsb. Tentu saja aku hanya
membatinnya – tak pernah mengucapkan itu semua.
“Kak
Fia, kalo not yang kecil ini namanya apa? Terus gimana ngebunyiinnya?” Tanya
Biyu padaku, yang sedang sibuk menerjemahkan not – not balok bertingkat ke
dalam not angka. Dia masih lebih muda satu angkatan dibawahku.
“Aku
udah bilang, aku masih 15 tahun. Kamu seumuran masa’ manggil aku ‘Kak?’”
“Soalnya,
-eh. Nggak enak manggil Fia.” Ekspresinya menyeringai padaku.
“Cengengesan,
Lu. Dasar!”
“Hahaha,”
Dia malah tertawa melihatku berekspresi serius. “Kak Fia udah bisa ngomong
bahasa gaul!”
Tanpa
pikir panjang, aku segera meraih selebaran partitur tebal di tangannya. “Oh,
yang ini?” Kataku sambil menunjuk satu not kecil yang terselip diantara yang
lain, memiliki banyak bendera, dan saling berkaitan. “Ini namanya Appogiatura.
Sejenis cengkok. Kaya gini Sebyaa~r ena…”
“Fia,
udah sejak kapan ikut padus?” Tanya Biyu.
“Dari
SMP.” Aku terlalu berkonsentrasi menerjemahkan partitur di tanganku sehingga
menjawab semua pertanyaan dengan ketus.
“Terus
gimana awalnya bisa tertarik?”
“Aku
ga tau, sih. Tiba – tiba tertarik aja. Aku juga bisa main piano, cipta lagu.
Aku juga suka seni. Maybe that’s why I’m
so interesting about it.”
“Bilang
pake bahasa gue-lo, dong!”
“Suka
– suka aku, dong.” Kataku sambil tersenyum melihatnya. Dari awal aku
melihatnya, rasanya aku merasa berarti. Aku suka cara dia bicara, memperlakukan
orang lain, aku suka kepribadiannya, dan lain – lainnya. I like his personality, and I hope he will be my best friend soon.
“O iya, menurutmu pelatih padus kita yang satu ini gimana sih, orangnya?”
“Biasa
aja, sih. Tapi kadang-“
“Sebel!
Gua juga!” Kataku memutus kalimatnya.
Tiba
– tiba ada suara – suara keras langkah kaki. Seluruh Anggota RVC berbondong -
bondong memasuki ruang seni. “Cepat! Cepat! Matir datang!” Aku dan Biyu juga
bergegas masuk, sebelum ada singa mengaum. :D
Semua
langsung berbaris sesuai pengelompokan suara masing – masing. Aku berbaris di
depan ujung paling kanan, sedangkan barisan alto berada di sebelah kiri barisan
sopran. Tenor dan Bass mengikuti di belakangnya.
Matir
langsung menyentuh keyboard yang sudah disiapkan di depan. “Selamat siang
semuanya. Untuk mengawali latihan hari ini, mari kita berdo’a menurut keyakinan
masing – masing. Berdo’a mulai.”
Semua
orang di ruangan langsung menundukan kepala, dan mulai berdo’a. Dalam hati aku
mulai membaca Al Fatihah dan do’a untuk belajar dengan cepat.
“Berdo’a
selesai.” Semua kepala yang tadinya tertunduk langsung kembali ke posisi
semula. “Stretch!” Kata Matir, menginstruksikan kami semua untuk pemanasan.
Semua orang di ruangan langsung melakukan pemanasan dari ujung kepala sampai
ujung kaki.
Setelah
pemanasan, kami semua dituntun untuk mengikuti tangga nada arpeggio
“Do-Mi-Sol-Do-Sol-Mi-Do”, dengan huruf vokal “A – I – E – O – U – E – A” yang
nada dasarnya dinaikkan satu demi satu dengan menggunakan keyboard.
“Kurang
kompak!” Matir berteriak menyemangati.
“A
– I – E – O – U – E – A” Terdengar bunyi ‘teng-teng’ keyboard setelah bunyi
vocal, untuk menggiring suara ke nada yang lebih tinggi.
“Lebih
keras lagi!”
“A
– I – E – O – U – E – A”
“Diafragmanya
kamu coba buka. Nah, sip!”
“A
– I – E – O – U – E – A”
“Diafragma!!!”
“A
– I – E – O – U – E – A” Mulai terdengar suara helaan napas tersengal tanda
tidak kuat dari anak – anak. Satu per satu anggota suara Bass, Alto, dan Tenor
mulai berhenti menyanyi. Sedangkan suara Sopran berhasil mencapai oktaf
ketujuh.
Matir
pun menekan keyboard kembali ke middle C. “Nah, sekarang turun,” Latihan suara
pun dimulai dengan cara yang sama, hanya saja kali ini nada diturunkan satu
demi satu. Suara Bass berhasil mencapai oktaf kedua.
“Review latihan pengambilan nada yang
tadi? Ada yang kesulitan?” Kata Matir dengan ekspresi wajah galaknya yang
klasik. Seketika, semua menggelengkan kepala. “Apa?! Tidak ada? Oh, bagus.”
Ekspresinya mulai ketus. Aku sendiri mulai takut memandangnya, tapi kucoba
untuk berdiri tegap seakan tak merasakan apa – apa. “Rollana, sekolah favorit,
juara paduan suara nasional, tapi kalian sombong sekali, ya?” Dia mulai
terlihat emosi. “Asal kalian tahu? Suara kalian tadi itu jelek sekali!
Kemampuan mengatur diafragma, blending,
pitch control, semuanya buruk!”
“Pssstt…”
Aira, teman sebelahku memanggil dengan bisikan kecil saat Matir sibuk
mengomentari suara bass di belakang.
“What?” Sahutku.
“Kita
ga salah pilih pelatih, kan?” Kata Aira.
“Kita
lihat aja dulu. Siapa tahu dia punya sisi baik yang menyenangkan.” Jawabku.
“Menyenangkan
apaan? Dari tampangnya aja udah horror. Bulu kuduk gue sampe merinding dari
tadi, sumpah!”
“Positive
thinking aja, mungkin dia lagi laper atau ada masalah sama keluarga.”
“Fia,
you know that? Pelatih professional
ga mungkin bawa – bawa masalah keluarga ke pekerjaanya.”
“…dan
kalian suara alto. Kalian tidak bisa mengimbangi sopran- (bla…bla…bla).” Suara
Matir terdengar samar – samar di telingaku. Karena aku memang tak ingin
mendengarkannya.
Aku
pun melanjutkan bicara. “Iya, gue bener. Dia emang mulai lapar.” Aira mulai
menatapku, mendengarkan dengan seksama. “Biyu pernah bilang kalau pelatih kita
yang satu ini gak doyan cokelat. Bahkan dia phobia banget sama yang namanya
cokelat.”
“Oh…”
Sahutnya seraya mulai tersenyum. “Did you
mean, dia kekurangan asupan ‘Snickers’?
Hahaha…”
“Tau
aja dah, kamu.” Aku dan Aira mulai tertawa.
Lalu
tiba – tiba ada sepasang mata besar melotot di depan wajahku dan Aira. Seluruh
pandangan tertuju pada kami berdua. Badanku langsung terasa kaku dan kebas. Aku
yakin Aira juga merasa begitu.
“Coba
ulangi pembicaraan kalian barusan!” Kata Matir sambil memelototkan mata.
“Hmmm…
kita cuma bercanda kok. Iya kan, Fia?” Kata Aira seraya menginjak kakiku untuk
memaksaku mengatakan ‘iya’.
“Iya.
Tadi saya cerita tentang toko cokelat di sebelah. Kan baru buka. Saya punya
rencana buat ngajak dia kesana.”
“Oh,
toko cokelat, ya?” Aku dan Aira mengangguk – angguk. “Perasaan saya tidak
pernah menemukan toko cokelat di sekitar sini.”
Aira
menginjak kakiku lagi. Sedangkan aku hanya bisa menahannya. “Aira, plis…”
bisikku padanya.
“Aku
tahu kalian berbohong. Sana push-up lima belas kali plus lari – lari keliling
lapangan 15 kali! Kalian berdua dan… Rizda! Tadi kamu juga ikut ketawa di
belakang.”
“Loh,
saya, pak? Saya ga ikut – ikutan.” Kata Rizda, yang posisi berdirinya
dibelakangku persis.
“Bodo
amat. Kalian bertiga keluar!” Kata Matir. Aku, Aira, dan Rizda langsung menuju
ke tengah lapangan untuk melakukan apa yang diperintahkan.
Aku
tahu sangat sulit untuk berlari jam dua siang dengan kondisi terik. Tapi,
biarlah. Nantinya juga semuanya akan merasakan hal yang sama. Paduan suara juga
memerlukan fisik yang kuat, bukan hanya suara bagus dan talenta yang besar.
“Satu…
Dua… Eh, girls!” Tiba – tiba muncul sebuah ide di kepalaku. “Kalian udah push
up berapa kali?”
“Lima
kali.” Kata Rizda.
“Udah
ga usah dilanjut.” Kataku. Mereka berdua menunjukkan ekspresi keheranan. “Tadi
kan disuruh 15 kali. Kita disini bertiga, jadinya dibagi lima-lima. Larinya
juga dibagi – bagi.”
“Lo
ngajarin kita curang, Fia?” Sahut Aira.
Mimik
mereka berdua terlihat aneh. Aku berdeham dan mencoba menjelaskan. “Kita nggak
curang, kok. Ini strategi. Bukan kebohongan. Kalau dia nanya sesuatu, kita
tinggal jawab dengan jujur. Tapi diakali sedikit. Tahu kan, maksudku?”
“I see…” Jawab Aira.
Sedangkan Rizda hanya mengangguk – anggukan kepala.
Aku
pun mengangkat telapak tanganku dengan semangat. “Tos, dong!” Lalu mereka
berdua menjawab dengan menepukkan telapak tangan mereka ke telapak tanganku.
Dimulai dengan Aira, kemudian Rizda.
Setelah
menyelesaikan hukuman sesuai dengan kesepakatan, aku, Aira, dan Rizda langsung
kembali kedalam ruang seni untuk melanjutkan latihan.
Tapi
belum sempat melangkahkan kaki, kami bertiga sudah melihat segerombol anggota
paduan suara yang lainnya sudah berbaris di pinggil lapangan.
“Hey,
kalian bertiga udah selesai?” Tanya Matir.
“Sudah
dong, Matir!” Kata Rizda seraya memasang senyum anggunnya.
Matir
langsung memasang senyum balasan, lalu merogoh kantongnya dan mengeluarkan
sejumlah uang. Entah kenapa batinku langsung terpana melihat apa yang
dipegangnya.
Aku
meresponsnya dengan spontan, “Buat kita, Matir?” dan langsung menutup mulutku
saat itu juga, sementara Aira dan Rizda memandang ke arahku.
Lalu
Matir menjawabku dengan ketus, “Iya, buat kita.” Seraya menyerahkan seonggok
uang itu pada kami bertiga. Aira langsung menerima uang itu. Aku langsung paham
maksudnya, dan menarik tangan mereka berdua, mengajak menuju koperasi sekolah.
Sementara
Matir berbalik arah untuk memberikan instruksi pada anggota lainnya untuk lari
keliling lapangan sambil menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka” dalam tempo sedang
dan staccato.
“Buat
kita, maksudnya?” Rizda masih tidak mengerti.
Tiba
– tiba Matir menoleh ke arah kami. “Masih disini kalian? Dasar bodoh kalian!
Gitu aja nggak ngerti! Pergi sana beliin sesuatu buat teman – teman kalian!”
“Kalian
berdua ini, ih!” Aku menggerang kesal sambil menarik tangan mereka pergi
secepatnya. Di sepanjang perjalanan, kami mengobrol tentang diri masing –
masing. Disaat itulah kami saling mengenal, dan aku rasa suatu saat kami bisa
saling akrab satu sama lain.
Nama
panjang Aira adalah Zahira Al – hambra. Dia seumuran denganku, juga dia adalah
anak akselerasi waktu SMP, di Rollana Junior High School. Dia adalah anggota
paduan suara paling muda di angkatanku.
Sedangkan
Rizdamaya Lintang Herfadanty, berusia 16 tahun. Dia tidak banyak bercerita tentang
kehidupan pribadinya, namun dia sangat – sangat skeptis terhadap kehidupanku.
Tentang bagaimana aku menjalani hidup seorang diri, dengan seorang kakak dari
ayahku yang berprofesi sebagai dokter spesialis otak, yang punya pekerjaan
sampingan sebagai –entah apa, dan pulang seminggu sekali. Tidak punya saudara,
atau banyak teman. “Bagaimana aku bisa betah?” dan sebagainya.
“Sejujurnya,
terkadang aku tersiksa karena rasa iri. Bahkan dengan melihat anak kecil yang
bahagia bersama orang tua mereka. Diajari jalan, disuapin, diajak bermain,
bertengkar dengan saudara.” Kataku sambil menahan tetesan airmata yang mulai
menumpuk diantara tulang mata. “Sedangkan aku belajar semuanya dari tempat
penitipan anak, yang aku ingat.”
“Terus
lo nggak haus kasih sayang, gitu?” Tanya Rizda kesekian kalinya.
“Seringkali.”
Kali ini aku menatap matanya, kemudian menghela napas panjang dalam – dalam.
“Yah… tapi aku selalu kuat, kan?”
“Kamu
hebat, Fia.” Jantungku berdetak senang ketika Aira memujiku.
“Bisa
aja kamu. Tumbenan sekali ini pakai aku-kamu ngomongnya, haha.” Kataku.
“Itulah
pengaruh dari Anindita Alifia!”
Setelah
itu kami mengangkat dua dus air mineral gelas bersama – sama. Sebenarnya aku
kesal, kenapa harus pekerjaan ini dilakukan oleh cewek? Apa 18 anggota laki –
laki belum cukup untuk mengangkat 2 dus air?
Di
lapangan, anggota paduan suara yang lain sudah selesai melaksanakan latihan
fisik. Mereka asyik mengelap – ngelap keringat, sedangkan kami bertiga datang
terlambat karena terlalu asyik mengobrol. Alhasil, kami mendapatkan omelan dari
Matir sekali lagi.
Tapi
overall, hari ini latihan sangat
menyenangkan. Dari sebuah hukuman paling menyebalkan pun, aku masih bisa
mendapatkan teman baru yang asyik dan pengertian. Aku berharap suatu saat
mereka akan menjadi sahabat – sahabatku.
Latihan
pun dilanjutkan dengan lagu “Panorama” aransemen F.A. Warsono. “Indonesia…
Indonesia… tanah air tercinta. Indonesia… Indonesia… tumpah darah pusaka…”
Previous: Eps. 3 Madrigals of Love
Next: Eps. 5 (?) UPCOMING
Previous: Eps. 3 Madrigals of Love
Next: Eps. 5 (?) UPCOMING
Tidak ada komentar:
Posting Komentar