Sabtu, 22 Oktober 2016

#2 Lavenda : Ternyata


Ku kayuh sepedaku dengan kencang, menerabas udara yang panas, kotor, dan berdebu. Rumahku lumayan jauh dari sekolah.

Setelah satu jam mengayuh, akhirnya aku sampai di depan pagar rumahku yang tidak pernah digembok. Karena di dalamnya terdapat dua buah rumah yang aku tidak tahu siapa penghuninya. Rumahku berada paling dekat dengan pagar, dan rumah satunya berada di sebelahnya. Aku pun membuka pagar dan masuk.

Pada saat aku menginjakan kaki di atas rumput, tiba - tiba ada orang lain yang sampai di gerbang, 1 meter dari tempatku berdiri. Aku mengenalnya, dia yang tadi menjatuhkan sepedanya di atas kepalaku. Apakah dia penghuni rumah sebelah, atau dia memang mengikutiku, aku tidak tahu.

"Kamu yang tadi itu, kan? Kamu ngikutin aku?"

"Enggak, lah, ge-er banget. Aku tinggal disini juga." Ia tersenyum saat mengatakannya. Ia langsung memasuki gerbang dan menutupnya. Sekarang dia berada sejajar denganku. "Tahu gitu kita tadi bareng. Kan enak ada yang bisa diajak ngobrol."

"Ehemm..." Aku hanya berdeham. "Emang kamu udah lama tinggal disini?"

"Lima belas tahun. Dulu rumahmu rumahku juga. Tapi Mama memutuskan untuk menjualnya. Katanya biar rame, dan ada yang ngurusin selagi dia kerja."

"Hmmm..."

"O iya, kamu mau main ke rumahku, nggak? Biar kita lebih mengenal satu sama lain. Kita kan tetangga sekarang."

"Maaf tapi, bukannya nggak baik kalau cewek main ke rumah cowok kalau dia cuma sendirian?" Balasku lirih.

"Mamaku lagi cuti, kok. Dia pasti seneng banget bisa menyambut tetangga barunya." Dia meyakinkanku.

"Oke, bentar aku mau parkir sepedaku dulu." Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Dia juga. Tak lama, aku menyusul Brian yang sudah menunggu di depan rumahnya.

"Yuk, masuk." Kata Brian.

"Assalamualaikum..." Aku mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam..." Suara lembut menjawabnya dari dalam. Wajahnya perlahan - lahan tampak dari bayangan yang gelap. Dia sangat cantik, wajahnya mirip dengan Brian, hanya saja terdapat sedikit keriput di ekor matanya. "Oh, ini tetangga baru kita. Mari masuk.

Lalu dia membawaku ke meja makan. Di sana sudah ada tiga buah mangkuk berisi makanan. Aku tidak tahu makanan apa itu. Aku langsung mengikuti mereka duduk.

"Ini namanya sekoteng. Khas Bogor." Kata Mama Brian.

"Aku belum pernah makan, Tante. Tapi orang cantik kaya' Tante pasti enak kalo masak."

"Ah, kamu bisa aja. Ayo buruan dimakan. Keburu dingin. Oh iya, kamu bisa panggil Tante Irma."

"Iya Tante Irma." Aku pun menyuapkan satu demi satu sendok sekoteng ke mulut. Rasanya hangat sekali. Aku memang suka dengan makanan hangat yang mengandung jahe.

"Oh ya, nama kamu siapa?" Tanya Tante Irma.

"Fia, Tante. Lengkapnya Anindita Alifia. Saya baru 2 hari tinggal disini." Jawabku.

"Oh, orang tua kamu dinas dimana?" Sudah aku duga pertanyaan ini pasti muncul.

"Itu dia. Fia belum pernah melihat mereka selama ini. Fia cuma tinggal sama Budhe, kakaknya Mama."

"Oh, maaf." Kata Tante Irma dalam raut wajah penuh penyesalan. Aku berusaha menunjukkan bahwa aku tidak terganggu dengan ucapannya barusan.

"Tapi kata Budhe, aku mirip banget sama Mama. Mataku mirip Papa. Jadi, meskipun Fia nggak pernah ketemu Mama, saat Fia lihat bayangan Fia sendiri di cermin, aku anggap itu pertemuan aku sama Mama. Saat aku lihat mataku sendiri, aku anggap, Fia lagi menatap mata Papa. Itu sudah cukup untuk Fia." Tak terasa air mata Tante Irma menetes begitu mendengarku bercerita. Padahal aku menceritakannya dengan penuh semangat. Aku sendiri bahagia menjalani semuanya.

"Terimakasih ya, Tante, atas semuanya." Kataku.

"Lain kali, jangan sungkan - sungkan mampir lagi." Kata Tante Irma.


Rabu, 19 Oktober 2016

#1 Lavenda : Sebuah Nama

"Halo dunia, namaku Anindita Alifia. Orang - orang biasa memanggilku Fia, si cewek cantik nan ceria. Banyak juga orang yang memanggilku si Pintar, si Cerdas, si Cemerlang. Mereka pikir aku pemutih baju apa dipanggil "Cemerlang"? Haha.

Hari ini adalah hari pertamaku ke sekolah baru di Jakarta. Deg - degan, sih. Tapi aku harus stay kelihatan pede - dan melepaskan semua beban hidup ke ruji sepeda yang kukayuh setiap hari."

"Akhirnya sampai juga!" Gumamku. Gerbang sekolah betuliskan "Rollana : Senior High School" sudah di depan mata. Di parkiran sekolah ada Jitensha Okiba, yaitu parkiran sepeda bertingkat ala Jepang yang bisa digunakan oleh semua murid sekolah. Aku juga memarkirkan sepedaku disana. Sembari menunggu bel masuk berbunyi, aku memutuskan untuk mencari ruang BK. Karena aku siswi baru yang harus mengenal lebih banyak tentang sekolah ini.

Suasana sekolah ini sangatlah sejuk, karena lahan yang luas dan banyak pepohonan. Kolam - kolamnya dibuat sangat alami seperti danau. Ada beberapa jembatan di atasnya. Uniknya, dalam sekolah ini ada sebuah sungai yang membatasi "Rollana : Senior High School" dan "Rollana : Junior High School". Tentunya, sangat berbeda dengan sekolahku yang sebelumnya. Jarang sekali terdapat pepohonan besar, gersang, banyak polusi karena berada di seberang jalan, dan bekas bangunan Belanda.

Setelah berkeliling lama sekali, akhirnya aku menemukan Ruang BK. "Permisi..." Aku mengucapkan salam dengan lirih. Lalu ada suara menjawab,"Iya, silahkan masuk"

Aku pun melangkahkan kaki perlahan, mencari sumber suara. Seorang guru laki - laki berkacamata menatapku dari kejauhan."Ada apa, dek?" Aku pun menghampirinya dan duduk di kursi yang sengaja disiapkan di depan mejanya, berhadapan dengannya.

"Begini, Pak. Jadi saya murid baru kelas XI, dari kelas akselerasi di SMAN 91 Surabaya. Saya mau ke kelas tapi saya nggak tau kelasnya yang mana."

"Bisa ditunjukkan rapotnya?" Pandanganku tertuju pada papan nama di dadanya yang bertuliskan Dwikora Yusuf N.

"Oh, iya." Aku pun membuka tas srempang hitam-ku dan menyerahkan buku rapor berwarna hitam milik sekolahku dulu, lalu meyerahkannya. "Ini, Pak Dwi-ko-ra~"

"Hmmm... nilai kamu lumayan juga, ya?" Katanya seraya menunjuk nilai - nilai di rapor yang mayoritas bertuliskan 95 ke atas, bahkan beberapa ada yang sempurna 100. Bapak ini sangat menyebalkan kalau dilihat dari cara bicaranya. "Kamu nggak pernah ikut ekskul apapun, ya?"

"Kalau di sekolah lama, saya ikut ekskul Paduan Suara dan Vocal Group, Pak. Di halaman belakang (rapor) ditulis, kok. Kalau disini ada, saya mau ikut juga, Pak."

"Oh... berapa kali juara?" Tanyanya ketus.

"3 kali, Pak. Satu nasional, satu provinsi, dan satu internasional. O iya, saya juga bisa menciptakan lagu. Saya baru saja menang lomba cipta lagu remaja tingkat nasional." Nada bicaraku sangat bersemangat. Aku benar - benar sebal dengan orang ketus macam ini. Rasanya aku ingin sekali menyombongkan semua yang kumiliki di depannya.

"Bagus..." Desisnya lagi. "Terus, kamu bisa apa?" Uhhhh, aku sudah tidak tahan!!! Aku ingin memukulnya kalau misalnya dia seumuranku.

"Oiya, Pak." Aku tiba - tiba teringat. Aku pun menghirup napas panjang untuk berbicara cepat tanpa jeda."Coba ceritakan sejarah singkat tentang namanya. Kenapa namanya Dwikora Yusuf, pasti huruf N di belakang itu singkatan dari Nugroho. Iya, kan? Saya tahu itu, karena orang Indonesia banyak yang punya nama itu dan cuma nama itu yang cocok dipasang di belakang nama Bapak. Pasti tanggal lahir Bapak bertepatan dengan peristiwa Dwikora, tanggal 3 Mei. Pasti Bapak tahu. Itu loh, Dwi Komando Rakyat yang di pelajaran Sejarah Indonesia. Jadi, ceritanya-"

"STOP!!!" Ia menggebrak mejanya, membuatku tersentak. "Ayo kamu saya antar ke kelas." Aku tersenyum mendengarnya. Akhirnya aku berhasil membuatnya kesal.

Tidak lama, aku pun sampai di depan kelas yang di depan pintunya terpampang "XI Science Acceleration".

"Terima Kasih, Pak!" Kataku seraya mencium tangannya. Guru berhijab itu pun menghampiriku dari dalam kelas. Semua guru memakai nama dada, sehingga sangat tidak susah mengetahui namanya.

"Ini, ada murid baru. Dia sebelumnya anak aksel, jadi saya bawa kesini. Tadi saya sudah membuktikan kemampuannya di Ruang BK. Dia luar biasa sekali." Kata Pak... Dwikora? Jujur, aku sangat terkejut mendengar perkataannya tadi. Mungkin tidak boleh terlalu cepat menilai orang lain.

"Oh, siapa namanya?" Tanya Bu Neira.

"Saya Fia, Bu. Anindita Alifia." Aku menyaliminya.

"Kamu sopan sekali, ya? Selamat datang di kelas kamu. Kebetulan saya wali kelas disini. Ayo silahkan." Guru itu sangat ramah padaku, beda dengan guru BK yang tadi. Ia beralih pandang. "Mari, Pak Nuggie.

"Nuggie?" Gumamku heran. Bu Neira menggandeng tanganku masuk kedalam. Rasanya sangat asing, dan aku baru sadar kalau mereka semua tidak berseragam. Mereka semua mengenakan setelan yang bebas, tetapi diberi jas yang sama, berwarna hitam dan bertuliskan Rollana dengan lambang pena terbalik, juga ada nama di sisi sebelah kanannya. Berbeda dengan aku yang memakai seragam putih abu - abu.

"Anak - anak, kita kedatangan murid baru, nih. Coba kamu perkenalkan diri dulu. Nama, tanggal lahir, atau apalah. Terus kenapa kamu pindah." Kata Bu Neira sambil menepuk pundakku. Ia kemudian berdiri di sampingku.

"Hai, nama aku Anindita Alifia dari Surabaya. Aku biasa dipanggil Fia. Umur aku baru 14 tahun, karena aku masuk TK umur 3 tahun, dan setelah itu aku selalu masuk aksel sampai sekarang. Alasan aku pindah adalah karena Budhe aku dokter. Dia pindah tugas ke Jakarta, dan aku harus ikut."

"Kamu tinggal sama Tante? Kenapa nggak tinggal sama orang tua kamu?" Jantungku berdetak cepat mendengar kalimat barusan. Tapi aku masih berusaha terlihat sangat ceria.

"Ya... itu masalahnya, Bu. Saya belum pernah lihat muka orang tua saya dari saya kecil." Kataku dengan senyum yang memaksa. Entah kenapa sudah ada dua hal menyebalkan yang terjadi disini padahal ini masih pagi.

Bu Neira tampak bingung dan menyesal setelah mengatakan itu. Ia pun berbicara dengan nada perlahan, "Emmm.... Maaf, Ibu nggak bermaksud begitu. Ehhh..." Dia berpikir sejenak, mencari tempat duduk yang masih kosong. "Lissa, Fia akan sebangku bareng kamu." Katanya sambil menunjuk gadis berkacamata dan berbehel dengan bangku kosong di sebelah kirinya. Ia duduk paling depan. Ia hanya bereaksi dengan menganggukkan kepala. "Fia, kamu bisa duduk sekarang."

"Iya, Bu." Aku langsung menuju ke sebelah Lissa. Ia sepertinya anak culun dan tidak pandai bergaul dengan teman - temannya. Seketika dalam hatiku terpatri sebuah tujuan; aku harus membantunya. "Lissa," Kataku lirih, sambil menyodorkan tangan. "Fia." Dia dengan ragu menggapainya.

Berada di bangku paling belakang mempermudah aku untuk mengobrol dengannya. Ia kebanyakan hanya merespons iya, tidak, anggukan, atau isyarat sejenisnya. Lama kelamaan ia semakin bisa menyesuaikan denganku. Kami mulai berdiskusi seputar pelajaran dan cara mengerjakan soal matematika.

"Tapi... aku belum pernah ke kantin." Jawab Lissa saat aku mengajaknya ke kantin pada saat jam istirahat.

"Kamu sudah dua tahun sekolah disini dan kamu belum pernah ke kantin? Are you kidding me?" Ujarku tanpa spasi. Karena terkejut aku langsung berdiri, keluar dari himpitan meja dan kursi kelas.

"Aku selalu di kelas, belajar dan baca buku."

"Lissa, hidup itu bukan sekedar belajar. Tapi nikmati dan praktekkan di luar. Aku tahu kamu pasti takut dibully, kan? Aku janji bakalan jadi tamengnya kamu kalau kamu disakiti. Mulai sekarang kamu harus jadi temen aku, terbuka sama aku, dan pastinya kita harus saling menjaga satu sama lain. Setuju?" Aku memberikannya jari kelingking. Aku berharap dia tahu isyarat apa ini. Dia pun berdiri dan melingkarkan jari kelingkingnya padaku juga.

"Kayaknya nggak afdol kalau cuma kamu yang janji, Fia. Kita sahabat sekarang. Aku janji akan selalu ada. Kita sahabat, oke?"

"Oke!" Kami pun saling berpelukkan. Sejak saat itu kami selalu bersama.

Akhirnya, tiba saatnya pulang sekolah. Aku berjalan lamban, menikmati pemandangan sekitar yang sedap. Setidaknya sampai aku keluar gerbang dan semuanya kembali panas dan berpolusi tinggi.

Perlahan - lahan aku pun mengambil sepedaku yang diparkir di tingkat bawah. Sejujurnya, aku sedikit kesulitan dengan parkiran semacam ini. Mungkin karena belum terbiasa? Entahlah.

Tiba - tiba kepalaku terbentur oleh ban sepeda lain yang diparkir tepat di atas sepedaku. Ketika aku menoleh, ternyata ada seorang cowok berambut hitam legam dengan model flip yang sedang mengambil sepedanya.

"Eh, maaf, mbak! Maaf aku nggak sengaja." Kata cowok itu sambil berusaha melihat dahiku dengan menyentuhnya. Ia tidak sengaja mengibaskan rambutnya.

"Nggak papa, kok, nggak papa." Kataku lirih sambil memegangi jidatku yang memerah. Aku langsung tegap kembali dan menatapnya dalam - dalam. "Kamu jadi cowok ya jangan sembrono, dong! Lihat ini, bikin benjol jidat orang." Kataku kesal sambil berlalu pergi. Tentunya sambil tersenyum - senyum kecil mengingatnya saat mengibas rambutnya. Alisnya tebal, dan matanya hitam legam seperti elang. Jas hitamnya bertuliskan "Brian Luckyta Angios." Hmmm, nama yang sangat aneh.

Kutancapkan gas dengan segera, meninggalkannya.

Next Eps 2 : Ternyata

Senin, 17 Oktober 2016

My First Single Coming Soon!!!^-^


Alomohora, my friends!!!

Aku lagi me-release single pertamaku (akhirnyaa:D). Itu salah satu dari goals-ku tahun ini selain menyelesaikan novel, menerbitkan buku, dan ranking satu. Walaupun kayaknya nggak mungkin ya, ranking satu di Smanisda, hehehe.

O iya, ternyata merilis single itu nggak mudah, loh. Pertama, aku harus menciptakan lagu dulu. Nggak susah, sih. Soalnya salah satu hobiku adalah menciptakan lagu dan bermain musik. Lagu ini sendiri adalah lagu yang aku ciptakan waktu aku kelas X, dan jadi salah satu dari 30 lagu - lagu ciptaanku yang lain (wihhh, sombong sekali! Yah, sekali kali sombong gapapa lah, ya, hehe :v)

Judulnya apa, ya? Gampanglah, entar kalau sudah jadi bakalan aku tunjukkin di blog ini, dan 2 blog-ku yang lain. See ya!

Collopurtus!!!

Dengarkan lagu saya DISINI :)

Puisi : "Lelah"

Aku bertanya dalam hati
Apakah ketulusan selalu berakhir dengan rasa sakit?

Sakit karena dikhianati
Sakit karena dijauhi
Sakit karena dibuang
Sakit karena ditinggalkan
Bahkan sakit karena dihina

Aku seringkali bertanya
Dimanakah ujung dari semua ini?
Dimanakah berkat dari semua ini?

Mengapa ku selalu terbuang?
Mengapa aku tak bisa menyakiti?
Sekalipun mereka adalah orang - orang yang menyakitkan hati
Aku tak bisa melawannya

Katakan padaku, Tuhan...
Katakan, bagaimana caraku menghadapi ini semua?
Bagaimana caraku menawarkan rasa sakit ini?
Bagaimana caraku menyembuhkan luka dalam hati?

Aku lelah, Tuhan...
Aku lelah! Aku lelah dengan semua ini!

Aku lelah dengan semua pengkhianatan ini
Aku lelah dengan semua penghinaan ini
Aku lelah dengan semua rasa sakit ini
Aku lelah dengan dunia ini

By: Haniya Timor