Selasa, 20 Mei 2014

Cerpen : "Kudambakan Selalu Senyumanmu, Ibu..."


Diceritakan dari kompleks "Cita Abadi", ada seorang gadis yang cacat dari lahir. Gadis itu bernama Savana. Karena namanya itu, dia seringkali membayangkan sebuah padang rumput yang luas. Tapi apadaya, dia dikurung di rumah oleh ibunya sehingga dia tak pernah tahu dunia luar. Di hari hari dalam hidupnya, dia selalu merasa kesepian tanpa kasih sayang. Namun, hanya ada satu keinginan yang ingin dia wujudkan yaitu ingin membuat Ibu tersenyum padanya.

"Sava, nanti Mama mau ada tamu. Kamu di kamar aja, ya" Kata Ibunya sambil mendorong kursi roda Savana ke kamar paling belakang-paling sempit di bawah tangga lalu menguncinya. Bagi Ibunya dia hanyalah aib karena lahir tanpa ayah-dulu ibunya seorang pelacur.

Dibukanya buku harian, lalu dituliskan nya sesuatu...
"Tuhan, kenapa kau ciptakan aku seperti ini? Aku punya kaki yang tak bisa ku gunakan. Tidak seperti kedua orang adikku yang selalu membuat kedua orangtua ku bangga karena prestasinya. Sedangkan aku? Aku hanyalah parasit yang menjadi aib keluargaku." Lalu dia menangis.

Rumah yang ia tempati bukanlah rumah sejati melainkan "penjara" yang membuat dia terasingkan. Bahkan tetangganya hanya mengira kalau orangtua nya hanya memiliki dua anak, yaitu Eka dan Evan. Sampai pada suatu hari, Savana menyerah dan ingin mencoba sesuatu yang nekat. Di hari ini usianya sudah menginjak 17 tahun dan stress nya sudah menumpuk. Dia ingin keluar.

"Aku tak tahan jadi seperti ini! Aku benar - benar sudah tak tahan!!!" Teriaknya dalam hati. Didobraknya jendela kamar yang terkunci dengan kekuatan amarah yang sudah menumpuk selama ini. Seketika, engselnya pun patah, dan dirasakannya angin kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Wuzz...." dengan hati - hati ia memanjat keluar.

"Kak Sava!" Belum sempat dia melompat, Evan mencegahnya.

"Evan, ngapain kamu disini? Sudah sana tidur!" Katanya sambil berbisik.

"Di luar tinggi, Kak! Kakak bisa mati..."

Tak lama kemudian Ibunya pun datang karena suara dobrakannya terdengar keras sehingga membangunkan ibunya yang sudah tertidur pulas. "Ngapain kamu disitu? Mau bunuh diri, kamu?"

"Iya, Ma!" Katanya ketus. Airmatanya berjatuhan seketika. "Lebih baik aku mati daripada aku disini jadi beban Mama."

Seketika, ibunya menghampiri lalu menjewernya "K-kamu? Sejak kapan kapan kamu berani melawan, ha?! Sekolah aja enggak! Sudah merasa hebat kamu!!" Kemudian menyeretnya ke kamar mandi, menutup mukanya dengan slayer, menyalakan shower, dan memukulnya berkali kali.

"Mama, jangan-itu terlalu kejam!" Eka datang memperingatkan ibunya.

"Masih kecil tahu apa, kamu? Tidur sana!" Kemudian melanjutkan menghajar Sava yang badannya sudah basah kuyup, lalu menguncinya.

Keesokan harinya, setelah mengantar kedua anaknya ke sekolah, dia menemukan buku harian anaknya yang belum ditutup tergeletak di tempat tidur Savana. Beberapa tulisan telah membuatnya menyesali perbuatannya selama ini yang mengasingkan Sava dari lingkungan. Lalu ia pun teringat oleh anak perempuannya yang ia kunci di kamar mandi. Dengan terburu buru dan gelisah, ia segera membuka pintu kamar mandi dan melihat anaknya yang tergeletak lemas di lantai dan sudah membiru. Melihat keadaan itu, ia pun langsung menangis dan memeluk anaknya-melepaskan slayer yang menutupi wajahnya.

"Maafin Mama, sayang... Mama yang salah." Katanya sambil menitikkan airmata. Savana pun tersenyum melihatnya lalu menghapus airmata ibunya. Dengan lemas ia pun berkata,

"Mama, paling nggak sekarang Mama sudah mau peluk aku, Mama sudah mau senyum sama aku. Itu sudah cukup buat aku, Ma..."

"Kamu bertahan, ya sayang. Mama mau kamu tetap hidup buat mama. Mama ingin menebus semua kesalahan Mama sama kamu."

Savana pun terharu melihat ibunya yang menangis untuknya. "Sudah, Ma... paling tidak Mama sekarang sudah menunjukkan kalau Mama sayang sama aku. Kalau aku pergi nanti, aku mau Mama mengenang aku." Lalu dia tersenyum dan menutup matanya. Namun dia bahagia karena cahaya cinta di mata ibunya sudah berhasil ia lihat untuk yang pertama dan untuk yang terakhir kalinya."

~The End~

Ditulis oleh : Haniya Timor