Hujan turun dengan derasnya. Aku keluar dari mobil menuju sekolah baruku, "SMP Cita Abadi" yang banyak ditumbihi oleh tumbuhan rindang dan ini adalah hari keduaku. Oya, namaku Anindita Alifia Kusuma. Aku biasa dipanggil "Fia".
Hujan semakin deras, dan aku basah kuyup karenanya. Dan tiba - tiba ada yang memayungiku dari belakang dengan jaketnya sehingga air hujan tak terasa lagi.
"Hai, Brian!" Sapaku. Itu adik kelasku, namanya Brian Lackta'angios. Anak pendiam yang jadi sahabat sejak pertama bertemu. Umurnya sebaya denganku, 12 tahun. Karena aku anak hasil akselerasi yang mendapatkan beasiswa.
"Sedia jaket sebelum hujan..." Kata Brian, seraya mengantarku sampai ke kelas. Kelas kami memang bersebelahan. Dia kelas VII-A dan aku kelas IX-C.
"Tok...tok...tok..." Aku mengetuk pintu kelas. "Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam... Fia, kenapa terlambat?" Tanya guru dengan wajah mainstream. "Baru kemarin masuk udah terlambat!"
"Ehhh.... maaf, Bu. Tadi hujan lebat terus jalanan macet." Aku menjelaskan.
"Baik, silahkan masuk. Lain kali jangan diulangi lagi, ya?" Aku pun masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran yang paling kusukai, IPA.
Tak terasa bel pulang berbunyi. Aku menghampiri sahabatku, Si Tampan Brian di kelasnya.
"Hai, Fia!" Sapa Brian. "Ke taman bunga yuk nanti..."
"Taman bunga?" Aku berpikir sejenak. "Nanti? Sekarang aja. Waktuku kosong kok hari ini."
"Sekarang? Okay! Kita balapan lari, ya- satu-dua-tiga...!" Dia langsung melesat meninggalkanku. Kami pun berebutan untuk sampai duluan.
"Aku paling cepet!"
"Bukan, aku yang paling cepet!"
"Aku!"
"Aku!"
Dan akhirnya aku yang mencapai taman bunga terlebih dahulu. "Hore! Aku yang tercepat... Yes! Yes! Yes! Action!!!" Sorakku.
Dari kejauhan, aku melihat Brian yang sedang merunduk tak tahu sedang apa. Mungkin dia kelelahan atau mengantuk. Kemudian aku memutuskan untuk menghampirinya. "Hai, Bry! Kamu ngaps?" Aku merunduk untuk melihat wajahnya. Dan yang kulihat adalah noda merah marun di seragam dan wajahnya. "Ya ampun, Bry, kamu mimisan?!" Dengan ekspresi kaget. Tubuhnya juga sepertinya pucat dan mau pingsan.
"Gapapa, kok. Aku biasa kaya' gini." Katanya.
"Sini aku bantu." Aku mengeluarkan tisu dari tasku dan memberikan padanya. "Kamu, sih. Mau di kata aku cewek juga kamu ga bakal menang lawan aku." Kataku setengah menyombongkan diri.
"Ih, songong lu mentang - mentang kakak kelas."
"Pulang, yuk! Aku takut kamu kenapa napa." Aku khawatir dengan dia. Dia terlihat tidak sehat.
"Pulang? Kita kan baru sampai?" Sanggah Brian. "Kalau lu mau pulang, kejar aku dulu!" Dia langsung lari ke labirin.
"Dasar adik kelas jahil!" Celotehku kesal. Aku menyusulnya ke labirin dan langsung tersesat.
"Dor!" Tiba - tiba ada seosok pocong yang berdiri tepat di depanku. Seketika aku berteriak "Huwaa!!!! Aaaa!!!"
"Hahahaha..... ini aku, kok!" Kata pocong jadi - jadian itu.
"Adik kelas jahil!!!" Akupun menjewer telinganya. walaupun idenya juga lumayan buat shock terapy mengingat aku juga sedang penat karena mau ujian. Aku melepaskan jeweranku dan kita jalan - jalan seperti biasa.
"Fia, boleh nggak aku bilang sesuatu sama kamu?" Kata Brian.
"Boleh. Kita kan sahabat. Jadi kita harus jujur tanpa ada rahasia."
"Sekarang aku tinggal menghitung hari. Bisa aja kamu sudah nggak ketemu aku seminggu lagi."
"Kamu ini ngomong apa? Aku nggak ngerti." Kataku menoleh ke arahnya. Kulihat sorot matanya yang tajam berubah menjadi kosong berkaca - kaca.
"Tenang, kamu akan tahu itu nanti." Tutup Brian yang kemudian pergi meninggalkanku sendiri. Aku pun ragu untuk berpikir. Apakah dia serius mengatakan ini? Dia akan pergi dalam arti sebenarnya atau mungkin-Tidak mungkin. Aku menepis pikiran negatif itu. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah.
1 bulan kemudian...
Minggu yang cerah. Aku bersepeda ke luar untuk memebeli kuas untuk pelajaran SBK.Sesampainya di toko, ternyata persediaan kuas habis. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan seseorang yang tidak asing lagi. Parahnya lagi, kami bertabrakan sampai aku menjatuhkan semua barangnya.
"Brian.... aduh, maaf... maaf.... aku nggak sengaja." Aku pun membantu membereskan barang - barangnya.
"Tumben ke toko kuas. Mau ngerjain tugas? Ikut aku aja ke rumah." Aku mengangguk.
Aku pun bersepeda sampai ke rumah Brian. Dengan tuan rumah tentunya. Sepeda Brian lebih dahulu sampai di dalam pagar rumahnya.
"Silahkan masuk." Katanya setelah membuka pintu untukku. Aku pun masuk dan terpukau dengan semua lukisan yang ada di rumahnya. Rumahnya seperti galeri yang penuh lukisan bernuansa sedih. "Merasa sentimental?"
"Wow! Ini lukisanmu semua?"
"Iya-sini, ada yang mau aku tunjukkin." Kata Brian sambil mengambil sebuah lukisan yang terbungkus dan memberikannya padaku. "Ini buat kamu. Happy Birthday, Fia. Wish you all the best!"
Dengan ragu aku menerimanya. "Buat aku?" Dia mengangguk.
"Oya, katanya mau pinjam kuas. Sini, yuk. Ini kamarku." Dia menunjukkan salah satu kamar yang paling berantakan di sudut kamarnya yang dipenuhi dengan kanvas dan sketsa wajah. Kami pun melukis dengan nyaman disana.
"Brian, ada kuas yang lebih kecil, nggak?"
"Ada. Di belakang. Kamu tinggal ambil rak bukuku."
"Okay.... Permisi...." Aku pun menuju tempat yang dimaksud. "Nah, ini dia." Di tengah mengambil kuas, aku melihat sebuah amplop besar berwarna cokelat dan ketika dibuka isinya adalah foto ronsen. Aku bisa membaca ronsen karena budheku adalah seorang dokter. Seketika apa yang kupegang jatuh ketika aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku memutuskan untuk pergi.
"Fia, mau kemana? Kok terburu - buru?" Tanya Brian yang melihatku menuju keluar.
"Enggak. Aku cuma lupa matikan kompor aja, kok!" Kataku yang langsung pergi membawa bungkusan lukisan yang dia buat untukku. Sedangkan dalam hati aku hanya berkata. "Brian... jangan pergi... aku masih mau melihatmu.... jangan pergi.... aku masih ingin bahagia bersamamu...." Aku langsung menangis di kamarku. Kubuka kertas yang membungkus lukisan itu. Berisi gambar indah dan beberapa bait puisi yang dia buat untukku. Dan tak kuduga, dia menyatakan cinta padaku. Di belakangnya terdapat surat.
"Dear Best Friends....
Mungkin tak ada sesuatu yang terindah setelah dirimu. Karena mungkin dirimulah yang terakhir dalam hidupku. Kau satu satunya yang mau menerimaku yang kesepian disini.
Tahukah, kawan... Bahwa bersamamu aku bisa bermimpi jauh dari lubuk hati, pikiran dan imajinasi. Kemudian ku bagi padamu. Saat kita bersama, saat itulah aku bahagia. Aku ingin terus bersamamu bagai pelangi hidupmu..."
"Tok.... tok.... tok...." Tiba - tiba pintu diketuk dari luar. Aku langsung beranjak dari tempat tidurku dan membukakan pintu.
"Brian?" Ucapku setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu.
"Fia, ini tasmu ketinggalan di rumahku." Aku mengambil tas itu. "Aku tahu kamu nangis karena aku." Dia mengusap airmataku. Aku tak mampu berkata apa - apa lagi. Airmataku semakin deras mengalir.
"Kita ketemu di dermaga danau nanti sore." Kataku.
"Oke, aku pergi dulu."
Sore hari telah tiba. Aku memenuhi janjiku untuk menemuinya di dermaga danau. Rupanya dia sudah menungguku.
"Hai!" Sapaku. Aku sedikit mengagetkan dia.
"Oh... Fia!" Aku pun duduk di sebelahnya. "Pemandangannya bagus. Iya, kan?"
"Iya. Liat deh. Mataharinya mulai tenggelam. Kamu suka, kan?"
"Banget!" Katanya sok senyum. Padahal matanya sembab. Aku tahu dia merasakan sakit sekarang. Terbukti dari bibirnya yang biru dan wajahnya pucat pasi.
"Oya, aku punya puisi. Aku bacain, ya?" Kataku sambil bersiap - siap berdiri memegang tulisan.
"Bentar - bertar. Liat sunset itu enaknya sambil tiduran."
"Tiduran? Ini kaya' sholat jenazah, tau! Udah di hadap ke barat. Elunya di situ."
"Iya, deh. Aku pindah posisi."
Tanpa menghiraukan dia, aku pun mulai membaca. "Pelangi Hidupmu...." Aku membacanya sampai habis dan menghayatinya sampai menangis. Aku juga memberikan jawaban atas puisinya secara tersirat.
Selesai membaca, aku pun menghampiri Brian. Dia memejamkan mata dan aku menggoyang - goyangkan tubuhnya. "Brian... Brian...." Dan saat itulah aku sadar, airmataku mengalir deras menandakan bahwa dia telah pergi untuk selamanya.