Hari ini aku pergi ke pemakamannya. Dengan perasaan sedih dan gelisah, namun telah ikhlas kerana dia adalah milikNya yang akan kembali-begitu pula aku. Aku berdoa agar menemuinya di atas sana.
Sedetik nafas itu sungguh berarti bagiku. Seperti yang kuinginkan, walau dirasa kurang. Kini aku melihat jasadnya dibawa menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Melihat ibunya menangis membuatku teringat satu kalimat: "Jangan kasihani yang sudah mati-tapi kasihanilah yang hidup. Terutama mereka yang hidup dalam penderitaan." Mereka yang hidup sebatang kara, mereka yang ditinggalkan oleh orang yang dikasihinya. "Oh, Emil.... mengapa kau pergi secepat ini? Aku ingin kau ada disampingku suatu hari nanti. Itulah mimpi kita, Emil... Kembalilah!"
Sejuta impian kita yang begitu terasa nyata dalam imajinasi dan ilusi itu seakan sirna oleh tsunami yang menerjang pelabuhan. Semua tinggal kenangan yang suatu saat akan berlalu oleh waktu. Terlintas satu pertanyaan dibenakku. Dosakah aku jika menolak takdir? Dosakah aku jika tak menerima kenyataan bahwa dia telah tiada? Dan dosakah aku jika terus menerus memikirkan itu semua? Aku benar - benar tidak percaya! Tetapi aku berusaha kuat untuk tidak menangis.
Senyuman manis itu masih menghiasi wajahnya saat keranda itu dibuka. Sekarang aku tak tahan lagi! Airmataku mulai keluar dan semakin deras. Mawar, sudahlah.... Jangan membuang barang berharga itu lagi! Aku berusaha menenangkan diri-lalu airmataku perlahan - lahan berhenti membasahi pipiku. Aku mulai merasa lemas-melemas-semakin lemas dan akhirnya pandangan mataku mulai kabur. Aku tidak bisa membuka mataku.
"Seberkas cahaya disana. Aku bisa melihatnya. Aku akan melaluinya!" Pandanganku yang gelap gulita perlahan - lahan menjadi terang kembali. Aku pun menggerakkan badanku untuk bangun dari ranjangku seakan tak percaya. Aku melihat bulan purnama itu tersenyum padaku tanpa luka sedikitpun. Dia menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi agar aku tidak berpikir bahwa aku gila. Aku mengerti sekarang. Dia belum mati. Dia hanya mati suri!
Sedetik nafas itu sungguh berarti bagiku. Seperti yang kuinginkan, walau dirasa kurang. Kini aku melihat jasadnya dibawa menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Melihat ibunya menangis membuatku teringat satu kalimat: "Jangan kasihani yang sudah mati-tapi kasihanilah yang hidup. Terutama mereka yang hidup dalam penderitaan." Mereka yang hidup sebatang kara, mereka yang ditinggalkan oleh orang yang dikasihinya. "Oh, Emil.... mengapa kau pergi secepat ini? Aku ingin kau ada disampingku suatu hari nanti. Itulah mimpi kita, Emil... Kembalilah!"
Sejuta impian kita yang begitu terasa nyata dalam imajinasi dan ilusi itu seakan sirna oleh tsunami yang menerjang pelabuhan. Semua tinggal kenangan yang suatu saat akan berlalu oleh waktu. Terlintas satu pertanyaan dibenakku. Dosakah aku jika menolak takdir? Dosakah aku jika tak menerima kenyataan bahwa dia telah tiada? Dan dosakah aku jika terus menerus memikirkan itu semua? Aku benar - benar tidak percaya! Tetapi aku berusaha kuat untuk tidak menangis.
Senyuman manis itu masih menghiasi wajahnya saat keranda itu dibuka. Sekarang aku tak tahan lagi! Airmataku mulai keluar dan semakin deras. Mawar, sudahlah.... Jangan membuang barang berharga itu lagi! Aku berusaha menenangkan diri-lalu airmataku perlahan - lahan berhenti membasahi pipiku. Aku mulai merasa lemas-melemas-semakin lemas dan akhirnya pandangan mataku mulai kabur. Aku tidak bisa membuka mataku.
"Seberkas cahaya disana. Aku bisa melihatnya. Aku akan melaluinya!" Pandanganku yang gelap gulita perlahan - lahan menjadi terang kembali. Aku pun menggerakkan badanku untuk bangun dari ranjangku seakan tak percaya. Aku melihat bulan purnama itu tersenyum padaku tanpa luka sedikitpun. Dia menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi agar aku tidak berpikir bahwa aku gila. Aku mengerti sekarang. Dia belum mati. Dia hanya mati suri!
Aku menikmati matahari terbenam itu hingga mega merah menghilang. Kami berbalik hanya untuk beribadah, lalu kembali lagi untuk tidur di bawah naungan bintang yang berpijar, ditemani dia yang membuat suasana semakin bercahaya. Tak terasa tanganku bergerak secara naluriah ke gundukan kecil di perutku. Aku pun membelainya dengan penuh kasih sayang.
"Kenapa Mawar? Terasa sakit?" Tanya Emil padaku.
"Tidak, dia hanya menendangku." Balasku.
Hidup kami berlalu begitu cepat. Bahkan sepuluh tahun terasa seperti sehari. Membuatku menyadari apa artinya cinta dan penatian diantara kita. Aku mencoba mengingat sebuah janji. "Ketika satu perasaan telah menyatu, ketika hati dan impian bertemu-tak akan ada yang bisa memisahkan kecuali maut." Bagaikan galaksi Bimasaksi dan Andromeda yang akan bersatu membentuk cluster suatu saat nanti, dan takkan ada yang bisa melepaskan ikatan gravitasi itu kecuali jika dunia telah kiamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar