Di sebuah kota besar di Jakarta, tinggalah seorang anak laki - laki yang mungil, hitam manis, dan berambut keriting bernama Aria dan saudara kembarnya, Ajay. Kedua anak itu memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Aria memiliki kepribadian
ekstrovert dan memiliki banyak teman. Sedangkan Ajay cenderung menutup diri dari pergaulan.
"Ajay, main, yuk! Aku habis ketemu temen lama, loh..." Kata Aria. Aria mengerti persahabatan Ajay dengan laptop kesayangannya yang tidak dapat diganggu jika sedang asyik. Aria pun pergi ke lapangan bola untuk bermain bersama teman - temannya. Sedangkan ajay lebih memilih untuk terbuka di dunia maya. Dia hampir mempunyai akun di semua situs. Bahkan dia bisa memperbarui postingan blog sebanyak dua puluh lima kali sehari.
"Wuzz...Gol!!!" Aria mencetak gol pertamanya. Tim Cowok mendapatkan satu angka. "Gol juga!" Virdia melakukan serangan tiba - tiba ke gawang cewek. "Kita seri!" Pertandingan semakin seru hingga Ibu Aria datang dan menyuruhnya pulang.
"He, Aria kebiasaan, yo, nek wis dolen lali wektu! Moleh!" Panggil Ibunya dipinggir lapangan. Aria dengan berat hati menuruti apa kata ibunya.
"Guys, gua pulang dulu, ya? Udah dijemput sama mama." Kata Aria. Dia pun langsung pulang bersama ibunya.
"Ajay!!!!" Teriak Aria ke-al4y'an. Kebiasaannya, tidak bisa berjalan jika bersama ibunya. Bisanya lari meninggalkan ibunya di belakang. Dia merebahkan diri di kasur Ajay. "Loe posting apaan, sih?"
"Biasa.... ilmu pengetahuan... sekarang gue mecahin rekor. Postingan gue sekarang udah Sembilan ribu lebih. Padahal umur blog gue baru setahun!"
"Hebat! Blog gue yang lo bikini seminggu yang lalu aja belum ada isinya. Nggak sabar nulis. Enakan ngomong langsung." Kata Aria
Ada satu problem yang dihadapi Ajay. Dia ingin sekali mendapat banyak bukti prestasi seperti Aria. Aria memiliki banyak sekali piagam, tropy, dan penghargaan lainnya dari berbagai turnamen di sekolah. Dari mulai basket, voli, futsal, bulutangkis, baseball, dan banyak lagi. Kakak kembarnya itu juga mengikuti club bulutangkis yang terlibat dalam kejuaraan nasional & internasional. Sedangkan Ajay? Dia tidak memiliki apapun untuk dibanggakan.
"Ajay!!!" Teriak Henka dikelasnya. Henka sudah dua tahun tidak naik kelas. "Mana setoran loe bulan ini?!"
"M- mma - af...emmm...ga punya...." Kata Ajay dengan ekspresi ketakutan dan terbata - bata.
"Wow! Hebat lu, ya? Plakkk!!!" Henka meninju Ajay. "Gua tunggu loe besok. Kalau besok ga ada, loe akan berhadapan langsung sama gue!!!" Henka pun langsung pergi.
"Loe nggak papa, Jay" Vivi menghampirinya. Dia memeriksa pipi Ajay yang keunguan bekas ditinju. "Ini pasti sakit, ya?"
"Gue nggak papa kok, Vi...." Jawab Ajay.
"Udahlah, anak kaya' gitu itu sebenarnya pengecut! Beraninya cuman pakai otot doang. Bibir kamu berdarah lho, Jay!"
"Sudah biarin.... By the way, kita ke perpus aja, yuk! Besok kan ada ulangan Matematika." Ajak Ajay. Vivi menyetujuinya. Ajay dan Vivi pun saling mengenal dan mereka bersahabat. Mereka memiliki kesamaan yaitu kehidupan tanpa sosialisasi yang membuat depresi.
Keesokan harinya, sepulang sekolah....
"Kita beda jalur, kan?" Tanya Vivi setelah tiba di perempatan jalan.
"Yaudah, gue bisa sendiri, kok!" Kata Ajay.
"See You...bye...bye...!" Vivi meraih jalan yang berlawanan arah dengan jalan Ajay.
"Bye!" Balas Ajay. Mereka berdua berpisah. Tiba - tiba segerombolan geng yang berpenampilan seperti preman menghadangnya. Ketua gengnya adalah Henka.
"Woy! Mana setoran loe? Mana!!!!!" Bentak Henka. Ajay memasang wajah ketakutan. "Oh, gitu, ya? Plakkk!!!" Henka memukul Ajay sampai jatuh tersungkur, sedangkan yang lainnya menjambak rambutnya. "Aaaaa!!!" Ia berteriak sekuat tenaga, berharap ada yang menolongnya. "Henka...Leon...Azi..., please! Brenti...."
"Okay, sekarang gue berheti. Tapi inget? Besok bayar SE - TO - RAN!!!" Henka meninggalkan Ajay sendirian tergeletak di jalanan. Dia pun bangkit dan pulang.
Sesampainya di rumah, dia disambut oleh ibunya di ambang pintu. "Ajay, kon lapo? Tukaran maneh?"
"Dipukulin temen, Ma!" Jawabnya dingin. Dia langsung masuk ke kamar, merebahkan diri di kasur. Kakak kembarnya baru pulang dari turnamen bulutangkis. "Gue berharap nggak hidup" Gumam Ajay.
"Terus lu mau nyerah gitu aja?" Kata Aria.
"Andai sel kita dulu nggak terbelah. Jadi Tuhan nggak niup roh buat aku..."
"Hush! Ajay, lu nggak boleh ngomong gitu. Istighfar! Kita ini kembar. Bisa aja kalau kita nggak terpisah, kamu yang hidup."
"Tapi kenyataannya aku terbentuk saat umurmu dua bulan, kak! Lalu satu sel berpencar ke sisi lain!" Dia mulai berkaca - kaca. "Gue capek hidup kalau cuma untuk dibully seumur hidup gue!"
"Huh, terserah. Lu mau nyerah gitu aja? Kamu punya banyak kelebihan yang tidak aku punyai. Kamu harusnya bisa bangkit! Coba lu bangkit. Berusaha punya prestasi apapun itu. Jangan terlalu introvert kaya' gitu!" Ajay terdiam mendengar kata - kata kakaknya. Mungkin benar-itu yang harus dilakukan. Sebuah kejutan untuk terpidana kasus "Bullying"!
"Oke, mungkin benar. Itu yang harus aku lakukan..."
Ajay melangkah ke sekolah dengan lebih tenang dari biasanya. ia menggunakan sebuah prinsip hari ini. Boleh pendiam asal jangan terlalu dikunci. Karena kalu kunci tidak pernah dipakai, lama kelamaan bisa karatan.
Langkahnya terhenti tepat di depan madding. Ada pengumuman yang menarik disana. "Math and Science Competition Indonesia 2013". Pendaftaran terakhir: Hari ini. "Kejutan spesial menanti mereka. Awas loe Henka Cs!"
"Hei Keriting!" Vivi mengagetkannya dari belakang. "Tumben baca madding? Biasanya langsung bertapa di kelas? Wkwkwk:D"
"Kali ini beda. Gue mau bikin perhitungan sama Henka Cs."
"Daftarnya sekarang aja. Keburu ditutup!" Vivi mengingatkan. Mereka pun menuju ke panitia penyelenggaraan olimpiade. Vivi juga ikut mendaftar. "Kedengarannya seru tarung sama loe. Buku - buku loe kelas berat semua!"
"Lu juga, Vi. Kita sama - sama overdosis kalo soal baca." Mereka menuju kelas. Disana ada Henka Cs yang siap menerkam mereka hidup - hidup tanpa dicerna.
"Owh, pasangan serasi... Udah nyiapin setoran hari ini? Masih belom juga?!!!" Henka menatang. "Kalau hari ini nggak bayar juga, besok bakal meningkat dua kali lipat!"
"Diem lu, Hen! Jangan ganggu dia selama seminggu. Kalau perlu menjauh! Kalau dia berhasil dalam kompetisi ini, lu harus kembaliin semua uang yang pernah lu minta dari dia! Dan kalau dia gagal, lu boleh giling dia di kandang macan!" Vivi membela. Wajahnya memerah seperti udang rebus. "ASSALAM!!!" Vivi menarik Ajay pergi menjauh dari gerombolah cacing - cacing sialan itu.
"Lu hebat bisa bikin mereka beku! Pakai mantra apa?" Puji Ajay.
"Eh, lu inget nggak Harry Potter and the Socerer's Stone-waktu Harry Cs mau masuk ke kandang anjing berkepala tiga? Hermione pakai mantra..."
"Inget!" Ajay memutus kalimat Vivi. "Dia pakai mantra Petri-Petricifi-Petrigotal... ah, apa sih?!"
"Petrificus Totalus (kutukan pembeku tubuh di Harry Potter). Bedanya ini versi muggle."
"Dasar Basillisk, Loe! Hahahah...." Mereka berjalan menuju kelas masing - masing dan berpisah di sekat antar kelas. "See yeah, girl!"
Hari yang ditunggu - tunggu pun datang. Seleksi hari pertama diadakan di sekolah mereka, SMP Gerhana. Ada banyak murid dari sekolah - sekolah lain yang juga ikut. Jumlah soal 100, dikerjakan dalam waktu 100 menit, dipotong waktu menghitamkan kolom nama, dll.
Vivi yang duduk di bangku pojok belakang melambai ke arahnya. Saat Ajay ingin membalas lambaian itu, tetapi pengawas yang berada tepat dihadapannya melotot sambil mengangkat rotan ditangannya.
Mereka mengerjakan soal - soal sampai waktunya habis. Sedangkan Ajay hanya mengerjakan setengahnya.
"Oke, semuanya! Soal dikumpulkan, jawaban diletakkan di atas meja. Waktu habis!" Kata pengawas. "Semua peserta dimohon untuk ke aula untuk melihat hasil scanner!" Peserta olimpiade langsung menuju ke aula. Disana banyak petugas yang melakukan scan pada LJK. Sambil menunggu, peserta mendengarkan seminar yang dilakukan oleh motivator ternama. Setelah satu jam mendengarkan seminar, hasil olimpiade pun ditampilkan.
"Selamat, Lu peringkat satu! Gue cuma peringkat lima..." Kata Ajay Nampak kecewa. Aula juga riuh oleh sorak para pemenang dan desah kecewa yang tidak lolos.
"Nggak papa, lagi. Peringkat lima dari dua ratus itu hebat!" Kata Vivi. "By the way, thanks atas pujiannya.
"Peringkat satu sampai dua puluh akan masuk ke semifinal." Ajay membaca catatan kaki.
"Tenang, Jay! Kita bertarung untuk juara satu. Kita pasti bisa!" Vivi menyemangati.
"Yes, we can do this!" Jawab Ajay. "Ngomong - ngomong pulang, yuk! Kaki gue mulai kesemutan, nih!"
"Ayo!" Mereka pulang bersama - sama, dan seperti biasa. Pisah di pertigaan.
Ajay menuju arah berlawanan dengan jalan yang biasa dilewatinya. Lebih tepatnya, itu jalan menuju lapangan tempat Aria biasa bermain. Tetapi pemandangan yang lain terjadi sebelum Ajay sampai ke lapangan.
"Itu kan Henka?" Guman Ajay. Dia mengikuti 'musihnya' itu sampai pada suatu gubuk. "Buat apa dia ke tempat busuk kaya' gitu?" Dia terus mengikuti sampai dia masuk. Ajay mengintip dari dari jendela kecil yang tingginya setengah dari tinngi badannya. ia tercengang melihat pemandangan spektakuler itu. "Jadi selama ini dia tinggal disini?"
"Bu, tolong. Kasih aku kesempatan untuk biaya Ibu berobat!" Henka berlutut pada ibunya yang terbaring lemah di kasur tipis.
"Terlambat, nak. Percuma buang-buang tenaga, buang - buang uang. Ibu juga nggak mau kamu repot."
"Tapi Bu, Henka masih butuh Ibu disini. Demi Henka, Bu! Demi aku! Henka masih butuh Ibu!" Henka menangis di pelukan ibunya. Ajay langsung berlari - lari, bergegas pulang. Dia tak kuat mendengar ini semua.
Di rumah, dia langsung membuka laptop, memposting pengalamannya ini dalam bentuk cerpen, juga rencana yang akan ia lakukan pada Henka-pelajaran bahwa tidak selamanya berandalan itu memiliki hati berandalan.
"Posting lagi?" Aria tiba - tiba sudah berada di depannya. Baju seragam basket yang basah, sebuah medali emas yang digantung di lehernya, serta sebuah piagam yang terbingkai rapi yang mengisyaratkan dia baru pulang dari pertandingan.
"Juara satu lagi?" Tanya Ajay.
"Iya, nih...." Jawab Aria. "Serius banget!"
"Pengalaman pribadi. Lu liatnya di warnet aja!"
Tak terasa hari ini sudah final. Ajay tidak lagi menggunakan ajang ini untuk balas dendam, dan membuktikan siapa yang paling kuat. Tetapi untuk menolong Henka. Keburukan jika dibalas dengan keburukan, berarti dia tidak ada bedanya. Karena tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Mereka melawan 33 provinsi sekaligus dalam babak ini.
Ajay tidak masalah jika harus masuk final dengan nilai pas - pasan. Yang penting ini sudah merupakan pembuktian baginya.
Pengawas membagikan lembar LJK dan soal - soal kepada peserta. Kali ini soal hanya 50. Waktunya tetap 100 menit. Pada saat itu juga pengawas mengumumkan bahwa babak final hanya diambil 3 orang untuk menyabet gelar juara.
Tak terasa waktu berlalu. Ajay menyelesaikan semua soal dengan mudah, sedikit kesulitan di bagian akhir. Tapi semua bisa diatasi.
"Vivi, kamu nomor 50 gimana?" Tanya Ajay pada Vivi.
"Gampang. Aku sih tinggal dicoret nolnya." Mereka berdiskusi masalah soal. Pada saat itu juga Ajay memberitahu Vivi soal Henka dan Ibunya. Mereka sepakat untuk memberikan uang hadiahnya pada Henka. Dia lebih membutuhkan uang ini daripada mereka.
"Pengumuman - pengumuman. Bagi peserta olimpiade diharap berkumpul di Aula. Terimakasih..."
"Eh, udah pengumuman, tuh! Ayo kita kesana!" Ajak Ajay.
"Ayo, GO!!!" Mereka berlari menuju aula dan segera disambut oleh tulisan di layar LCD. Mengejutkan-mereka berdua sama - sama menjadi juara. Ajay mendapat juara satu, dan Vivi mendapat runner up. Mereka bersorak kegirangan dan segera pulang, karena penyerahan hadiah akan dilakukan di sekolah masing - masing.
Hari ini upacara bendera paling bersemangat bagi Ajay. Karena hari ini adalah pengumuman berita gembira.
"Tentu saja kita turut berbangga pada sekolah ini. Karena ada Juara satu olimpiade Math & Science tingkat nasional pertama kali diraih oleh sekolah. Langsung saja kita panggilkan.... Saichul Ajay Hadi Utomo dari kelas delapan A! Beri tepuk tangan yang meriah!!!" Ajay pun berjalan ke tengah lapangan upacara untuk menerima penghargaan trophy, uang, dan medali emas. "Kita panggilkan juga Vivi Anggika Effendy dari kelas delapan B!!!" Mereka pun tersenyum gembira. Hari ini adalah pengalaman yang tak terlupakan.
Setelah upacara, mereka pergi ke kelas masing - masing. Trophy yang berat itu juga sudah diserahkan ke sekolah. Di tengah jalan, mereka dicegat oleh geng Henka Cs yang siap menghajar mereka.
"Kalian semua mau hajar kita lagi? Silahkan! Kita nggak mau melawan lagi. Karena kita tahu semua yang kamu lakukan ini bukan demi kamu, tapi Ibumu." Kata Aria. Mereka menyodorkan amplop tebal berisi uang jutaan rupiah. "Ini-kamu lebih butuh ini daripada kita berdua."
"Iya, Henka. Kita cuma ingin membantu." Vivi menitikkan airmatanya.
"Percuma. Ibuku baru meninggal kemarin. Kankernya sudah parah." Ekspresi garangnya berubah menjadi lebih melankolis dan berkaca - kaca. "Tapi aku hargai kalian." Henka pun menerima amplop itu sambil memeluk Ajay, diikuti oleh Vivi, dan anggota geng Henka Cs lainnya. Semua permasalahan selesai, dan akhirnya mereka semua bersahabat.