Rabu, 02 Juli 2014

Cerpen: My Lovely Dear, Peri Kebahagiaan

Mengepak sayap kebebasan…
Melepas secuil luka penderitaan…
Buka mata menatap ke depan…
Meraih mimpi bersama harapan…

Namaku Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan. Dulu aku adalah seorang superstar yang memiliki banyak penggemar dan juga followers yang berbaris - baris di twitter.  Tetapi itu hanyalah "Dulu". Dan semuanya berubah semenjak ada musibah yang menimpa keluarga kami.

Setahun yang lalu, kami pergi ke puncak untuk menyambut libur akhir tahun 2013. Di tengah perjalanan, kami bergembira ria. Bernyanyi, bercanda dan bersenda gurau. Sampai ada sebuah truk yang menyambut kami dengan lampu yang menyilaukan mata.

"Allahuakbar! Lailahailallah muhammadarasulullah...." Kami melantunkan bacaan itu bersama - sama, kemudian, "Braakkk!!!"

Dalam kejadian itu, hanya aku yang selamat walaupun tubuhku dipenuhi dengan luka bakar yang sampai sekarang masih ada bekasnya.

Karena peristiwa itu, setiap stasiun televisi dan berita hanya menayangkan aku, aku, dan aku. Gosip pun tak henti - hentinya menyerang. Sedangkan aku hanya bisa menangis di kamar, meratapi nasib dan tak tahu harus berbuat apa. Tak terhitung berapa kali aku mencoba untuk bunuh diri dan selalu gagal karena aku terlalu lemah dengan semua ini. Semua yang aku miliki telah hilang. Popularitas, fans, dan kepercayadirian. Kini aku hanya bisa duduk di kursi roda dengan tatapan kosong dan bungkam.

"Iqbaal!" Suara itu tiba - tiba mengagetkanku. Itu Tante Irma, yang merawat aku semenjak kejadian itu. Aku langsung mengusap kedua buah mataku yang seringkali basah tanpa aku sadari. "Kamu nangis lagi? Sudah.... sudah.... nggak usah dipikirin terus.... Guru home schooling kamu sudah datang, tuh. Ayo!"

Aku hanya mengangguk dan memutar kursi rodaku ke ruang keluarga. Aku tak pernah mengucapkan sepatah kata pun sejak setahun yang lalu. Aku hanya ingin menangis, menangis, dan menangis- tak kuat merasakan kehilangan semua yang kumiliki dalam sekejap.

Dulu aku cinta sekolah dan aku selalu bersemangat. Tetapi itu dulu. Sekarang aku hanya asal - asalan ikut. Bahkan semua prestasi yang aku ukir sudah tidak ada gunanya lagi. Semua tinggal kenangan. Bahkan aku tak terlalu memperhatikan saat guru menerangkan pelajarannya. Itu semua tidak penting lagi bagiku.

Akhirnya sekolah selesai juga. Dan aku ingin menyendiri lagi. Mengantar guruku ke depan pintu sudah cukup. Depan pintu itu batasku ke luar. Karena aku benci dunia luar.

"Iqbaal!" Tanteku berlari ke arahku dan langsung memelukku. "Sampai kapan kamu begini terus? Mau sampai kapan?!"

"Sampai orangtua dan kakakku kembali." Ujarku dalam hati. Aku langsung pergi ke kamarku lalu menutup pintu.
"Terus kita harus gimana, Pa?" Kata Tante Irma pada Om Farhan di ruang keluarga.

"Gimana apanya?"

"Itu, keponakan kita. Sampai sekarang dia belum mau ngomong dan dikamar terus. Melamun, nangis, pokoknya gitu, deh. Apa perlu Mama panggilin dia psikiater?"

"Oke, besok Papa panggilin psikiater. Tapi sore - sore aja, soalnya ada urusan kantor."

Tanpa mereka sadari, aku ada di dekat mereka dan diam - diam menguping pembicaraan mereka. "Mereka benar, aku nggak boleh kaya' gini terus." Aku pun memberanikan diri keluar dari zonaku, meskipun trauma masih saja menghantuiku. Aku masih ingat saat aku melihat mereka terbakar hidup - hidup. Itu sangat mengerikan.

"Hai!" Tiba - tiba ada suara mengagetkanku. Seorang cewek berambut panjang sepinggul tiba - tiba mendekatiku. "Kamu tetangga baru, ya? Aku baru lihat kamu."

"Hai...." Ucapku pelan dengan senyum yang dipaksakan. Anak itu ramah sekali. Baru sehari ketemu, aku sudah diajak ke taman bunga. Letaknya tidak jauh dari rumah dan pemandangannya sangat asri. Aku pernah diajak Mama kesini tapi itu sudah lama.

"Oya, kita belum kenalan. Namamu siapa?" Dia mengulurkan tangan padaku.

"Iqbaal." Kataku seraya menggapai tangan mungilnya. "K-kkalau kamu?"

"Aku Karin. Aku dari dunia gaib, dan aku kesini untuk menghantuimu." Candanya. Aku dan Karin pun tertawa. "Eh, ngomong - ngomong, kamu jarang bicara, ya?"

Kata itu seperti memanahku dalam sekejap. "Lebih tepatnya nggak pernah. Sejak setahun terakhir, baru kali ini mulutku berfungsi selain untuk makan."

"Kenapa begitu?" Karin terbelalak sekalugus heran.

"Ceritanya panjang, Rin... Dan aku sudah tidak mau mengingatnya lagi. Kenangan ini terlalu buruk." Kataku seraya menunduk, berusaha membendung mataku.

"Oh maaf, aku lancang, ya?"

Aku tersenyum. "Nggak papa, kok. Mulai hari ini, nggak boleh ada rahasia. Begitupun kamu. Janji?" Aku mengulurkan kelingking.

"Janji."

Sejak saat itu kami menjadi sahabat. Selalu berbagi cerita. Dan dia membantuku bangkit dari keterpurukan. Karin, gadis pengkhayal, lucu, dan aneh. Dia yang selalu menghiburku.

"Karin, sudah mulai malam. Aku pulang dulu, ya?"

"Mau diantar ke rumah?"

"Nggak usah, aku bisa sendiri, kok!"

"Oke yaudah.... See you!"

"Bye!"

Lalu aku memutar - mutar roda di kursiku. Baru kali ini aku bahagia. Sungguh!

Dari depan rumah, aku melihat Tante Irma. Dia tampak gelisah. Aku menyentuh tangannya dari belakang. Dia langsung kaget.

"Aduh... kamu ini ngagetin aja. Dari mana aja, kamu?! Dicari kemana - mana. Tante pikir kamu hilang bunuh diri tahu, ga?!" Nada bicaranya agak tinggi. "Sekarang kamu masuk!"

Aku hanya tersenyum melihatnya. "Aku nggak kemana - mana kok, Tante. Aku cuma ke taman."

"Lho, kamu bisa ngomong?" Katanya dengan mata membelalak. "Akhirnya...." Tante Irma langsung memelukku erat. "Besok Tante telfon kak Rino buat liburan sekalian ngerayain kesembuhanmu."

Air mukaku berubah seketika. "Maaf, Tante..." Ujarku sambil menekuk muka. "Aku benci liburan." Aku langsung masuk ke dalam rumah.

Pagi ini aku merenung di bawah jendela sambil merasakan angin sepoi - sepoi. Rasanya ingin sekali aku memandang keluar jendela. Tetapi jendelanya terlalu tinggi sedangkan aku tidak bisa berdiri untuk bisa menggapainya.

"Iqbaal!" Aku mengenal suara itu. Suara Karin. "Kamu disana?" Dia mengintipku dari jendela.

Aku pun berpegangan dan berusaha berdiri. "Kamu ngapain kesini?" Kataku sambil berbisik.

"Ini kan hari minggu. Main, yuk!" Ajak Karin.

"Tapi guru home schooling ku bentar lagi datang."

"Kamu belajar full seminggu?"

"Okay, bentar!" Sekali lagi hal gila ini yang terakhir kali aku lakukan dengan tujuan bunuh diri. Kuraih kunci di atasnya sambil berusaha berdiri tanpa berpegangan, lalu aku melompat dan "Berhasil! Alhamdulillah...."

"Kamu bisa jalan?" Karin terkejut.

"Barusan" Jawabku.

"Iqbaal!" Terdengar suara tanteku dari dalam. Sepertinya guru home schoolingku sudah datang dan Tante mencari - cariku.

"Itu suara Tante Irma" Kataku. "Lari!!!" Aku menarik tangan Karin. Meskipun rasanya masih agak pincang, tetapi setidaknya kau masih bisa lari.

"Kita kemana?"

"Kemana aja, deh!"

"Brak!" Karin terpeleset di lumpur.

"Karin?" Aku mengulurkan tangan padanya. "Kamu nggak papa?"

"Nggak papa." Suasana hening sejenak. "Kamu yang jaga!" Karin memukulku lalu berlari. "Kejar aku kalau bisa! wek...."

"Okay!" Kami pun bermain sepuasnya seperti anak kecil.

Hari sudah semakin sore....

"Udah sore, nih.... aku balik dulu, ya?" Kata Karin.

"Iya, aku juga mau balik... see yeah...."

"See yeah...."

Kembali lewat jendela mungkin saat yang aman untuk pulang. Aku memanjat jendela itu dan di dalam kamarku sudah ada Om dan Tante yang sudah siap mengomel, menghukum, atau apapun itu.

"Iqbaal! Sejak kapan kamu bertindak tidak sopan? Dan sejak kapan kami mengajarimu tidak sopan?! Hah?!!!" Om ku membentak dengan keras. Rasanya baru kali ini dia begiru. Biasanya dia begitu lemah lembut padaku.

"Iya, tadi gurumu sampai lumutan, tahu nggak! Kamu malah kabur. Sejak kapan kamu bisa jalan?"

"Barusan. Itu juga nggak disengaja." Kataku sambil menunduk.

"Udahlah Ma, Pa.... nggak usah terlalu kasar. Paling nggak dia sudah bikin kemajuan." Tiba - tiba Kak Rino datang.

"Kak Rino! Aku langsung memeluknya. "Akhirnya.... Long time no see...."

Kak Rio melepaskan pelukkannya. Dia menatap mataku dan mengatakan sesuatu. "Kamu hebat." kata itu nyaris tidak terdengar dan airmataku perlahan - lahan jatuh karena terharu.

"Kamu minta apa? Kami akan turuti." Kata Om.

"Aku ingin sekolah di sekolah reguler. Aku bosen terus - terusan di rumah."

"Tante juga minta satu hal sama kamu." Tante mendekatkan wajahnya ke arahku, merangkul pundakku. "Boleh kamu panggil Mama dan ini Papa?"

"Emm.... boleh, Ma..."

Kami pun berpelukkan dengan eratnya. Sekarang aku resmi jadi bagian dari keluarga ini.
Hari ini adalah hari pertamaku sekolah. Senang sekali bisa kembali lagi setelah setahun menghilang.

"Eh, lihat! Itu ada Iqbaal!!!" Kata segerombolan temanku yang langsung menghampiri. "Lu kemana aja?"

"Aku? Aku dari dunia gaib." Candaku. Lalu aku melihat seorang gadis berambut panjang yang sudah tak asing lagi. "Bro, gue duluan, ya?"

"Okay!"

Lalu kubiarkan masa lalu itu…
Berlalu seperti seharusnya…

Dibawa angin waktu yang berhembus…

-TAMAT-

Cerita ini hanya fiksi....
By: Haniya Timor

Tidak ada komentar: